Managing organization Conflict
(Mengelola Konflik Organisasi)
Selain sebagai makhluk individu, manusia merupakan sebagai makhluk sosial Soekamto (1996 :24). Di mana keduanya bukan merupakan dikotomis yang tidak berhubungan, tapi merupakan titik yang terhubung dari sebuah garis linear. Yang pada kondisi tertentu titik tersebut akan bergeser dari domain makhluk individu menuju ke domain makhluk sosial, dikarenakan dinamika lingkungan yang semakin dinamis. Setiap individu dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang melekat di dalamnya memiliki sejumlah kebutuhan (primer, sekunder & tertier) yang harus dipenuhi, dan sesuatu yang ingin di capai dalam waktu sekarang dan mendatang untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk mewujudkan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan, tidak jarang membutuhkan bantuan atau kerja sama dengan individu lain, sehingga terbentuklah kelompok. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa kelompok membentuk kelompok yang lebih besar dan dikenal dengan istilah organisasi. Robbins (2004 :4) mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Dari pengertian tersebut, istilah kesatuan sosial berarti bahwa unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain.
Terlepas dari apakah organisasi tersebut merupakan organisasi informal maupun formal, maka interaksi di antara anggota kelompok tidak bisa dihindarkan. Ketika di dalam sebuah organisasi telah terjadi interaksi antar individu yang ada, maka terjadinya konflik adalah merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Tepat apa yang dikatakan Lewis A. Coser (1972 :43), bahwa Konflik baik yang bersifat antar kelompok maupun intra-kelompok selalu ada ditempat orang hidup bersama.
Definisi Konflik
Brown (1998 :46), menyebutkan bahwa konflik merupakan bentuk interaksi perbedaan kepentingan, persepsi dan pilihan. Wujudnya bisa berupa ketidaksetujuan kecil sampai ke perkelahian. Thomson, sebagaimana dikutip Robbins (1994 : 450) mengambarkan konflik sebagai prilaku anggota organsiasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Prosesnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah menghalangi atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya. Sementara Jones (2001:420) mendefinisikan konflik sebagai The clash that occurs when the goal-directed behavior of one group block or thwarts the goal another.Sedangkan beberapa literatur menyebutkan makna konflik sebagai sebuah perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dan organisasi, yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan mereka mempunyai status, tujuan, nilai atau pandangan yang berbeda, dimana masing-masing pihak berupaya untuk memenagkan kepentingan atau pandangannya.
Robbins (1994:451) menganalisis Persamaan dan perbedaan beberapa definisi di atas. Persamaan dari beberapa definisi terletak pada konsep mengenai oposisi, kelangkaan dan halangan. Dan asumsi bahwa terdapat dua pihak atau lebih yang kepentingannya atau tujuannya kelihatannya tidak cocok. Sementara Perbedaan di antara definisi-definisi itu cenderung berpusat pada maksud (yang merupakan perdebatan mengenai apakah prilaku yang menghalangi harus merupakan tindakan yang ditentukan atau apakah maksud itu terjadi sebagai akibat dari keadaan yang kebetulan saja). Dan apakah konflik adalah sebuah istilah yang hanya terbatas pada tindakan terbuka ( yang merupakan perdebatan dimana beberapa pihak meminta adanya tanda-tanda pertikaian atau pertarungan terbuka sebagai criteria bagi eksistensi konflik.)
Robbins (1994:451) kembali mempertegas, bahwa terlepas persamaan dan perbedaan tersebut, konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Apakah konflik tersebut memang ada, itu adalah masalah persepsi. Jika tidak ada yang merasakan adanya konflik, pada umumnya konflik dianggap tidak ada. Begitu juga sebaliknya. Sehingga Robbins lebih senang menggunakan definisi konflik sebagai pengakuan adanya kesadaran (persepsi), oposisi, kelangkaan dan halangan. Selanjutnya Robbins, mengasumsikan bahwa konflik merupakan tindakan yang ditentukan, yang dapat timbul pada tingkat yang tersembunyi atau terbuka.
Bentuk dan Jenis Konflik
Pembahasan mengenai apa sebenarnya konflik diatas membawa kita pada pemetaan pada bentuk dari konflik itu sendiri. Daft (1998:483) secara garis besar membagi konflik menjadi dua yaitu Intergroup Conflict atau konflik antar kelompok (vertical and horizontal Conflict) dan Interdepartemental Conflict atau Konflik antar departemen. Konflik vertical yaitu konflik yang terjadi diatara level yang berbeda dalam sebuah hirarki organisasi. Sedangkan konflik horisontal terjadi di antara kelompok atau departemen yang mempunyai level yang sama dalam sebuah hirarki organisasi.Sedangkan Myer (1992 :453) membagi tiga bentuk konflik dalam organisasi, yaitu : 1) konflik pribadi, merupakan konflik yang terjadi dalam diri setiap individu karena pertentangan antara apa yang menjadi harapan dan keinginannya dengan apa yang dia hadapi atau dia peroleh. 2) konflik antar pribadi, merupakan konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan 3) konflik organisasi, merupakan konflik perilaku antara organisasi dimana anggota kelompok menunjukkan keakuan kelompoknya dan membandingkan dengan kelompok lain, dan mereka menganggap bahwa kelompok lain menghalangi pencapain tujuan atau harapan-harapannya.
Fokus Teori Organisasi
Agar supaya tidak terjadi tumpang tindih pemahaman konflik dari segi pembahasan Teori organisasi dan Prilaku Organisasi. Perlu kami tegaskan bahwa pembahasan makalah ini terfokus pada koordinasi antar unit sehingga kita melihat konflik sebagai akibat dari adanya kekurangan di dalam desain organisasi. Bukan terfokus pada konflik antar pribadi dan antar kelompok, sehingga semua konflik akan dilihat sebagai masalah manusia ( Fokus kajian Prilaku Organisasi).Nilai-nilai Konflik dalam Masyarakat
Sebagai mana kita ketahui bahwa nilai-nilai yang diajarkan dan dianut dalam masyarakat kita selalu bersifat anti-konflik. Nilai-nilai persatuan, kesatuan, kerjasama dan gotong royong selalu ditekankan untuk dapat mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, nilai-nilai demokrasi, musyawarah untuk mufakat juga menghargai perbedaan pendapat orang lain tidak jarang dikorbankan secara tidak proporsional demi menjaga kelestarian nilai-nilai sosial di atas. Sebagian besar dari kita masih cenderung memandang konflik sebagai hal yang harus dihindari bukan sebagai realita yang harus di-manage. Hal itu bisa kita lihat dalam idiom-idom yang sengaja diciptakan oleh komunitas masyarakat tertentu. sebagai contoh masyarakat jawa yang selalu berusaha untuk menciptakan kondisi masyarakat yang diidiomkan dengan “Gemah ripah loh jinawi tentrem rahardjo mbangun karso.” Idiom tersebut mengajarkan kepada masyarakat jawa menginginkan adanya masyarakat yang makmur dan terus membangun dalam suasana yang tentram. Proses membangun /mbangun karso akan terhambat jika konflik terjadi. Hal ini secara tidak langsung telah melegitimasi akan bahayanya konflik. Dalam konteks organisasi perusahanpun kurang lebih sama, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Hardjana (2002 :5) terhadap 200 manajer di Jakarta dengan menggunakan metode Focus Group Discuss dengan pendekatan Naturalistis menunjukkan hasil dimana sebagian besar / 65 % para manajer masih menganggap konflik sebagai sesuatu yang merugikan dan harus dihindari.
Hal lain yang menyebabkan nilai-nilai anti konflik yang masih tinggi dalam masyarakat kita, disebabakan karena selama tiga dasawarsa sistem kenegaraan kita juga tidak mendukung terhadap munculnya konflik. Sistem demokrasi hampir tidak ada, perbedaan pendapat selalu dinihilkan. Pengambilan keputusan yang cenderung sentralis dan peran militer dalam kehidupan negara sangatlah dominan. Padahal kalau kita cermati secara mendalam dinamika kehidupan berorganisasi dalam bentuk, jenis dan ukuran apapun tidak akan terjadi tanpa adanya konflik. Kita perlu mempersepsi konflik sebagai realita yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti sehingga bisa membuat kehidupan organisasi menjadi stagnan. Sebaliknya konflik harus diterima sebagai “mesin” dinamika organisasi yang harus dikelola secara cerdas. Karena dalam kenyataannya, konflik tidak selamanya bersifat destruktif.
Dalam konteks pemikiran seperti itulah, konflik juga tidak identik dengan kegagalan atau kemunduran, tapi merupakan awal sebuah dinamika. Karena di tengah terjadinya konflik sebenarnya sedang berlangsung proses reparadigming. Lebih dari itu, pola belajar dan bekerja yang hanya menggarisbawahi hal-hal yang jelas dan kaku sebenarnya tidak memiliki learning values. Bahkan, mudah membuat seseorang hidup berputar-putar dalam tempurung paradigma yang sama dan membelenggu, tidak bergairah serta statis. Untuk itulah konflik sebagai unsur dinamis dari kehidupan berorganisasi betapapun kecilnya perlu dikelola dengan tepat, cepat dan profesional. Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama dalam meraih performance yang optimal dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktek persepsi demikian tampaknya masih timpang. Selama ini organisasi tanpa konflik selalu dipersepsi sebagai kondisi ideal, harmonis, pantas di-”bencmark”. Jarang sekali kita memandang konflik sebagai “vitamin” kehidupan organisasi, tapi justru sebagai virus pembawa “penyakit”. Padahal bila konflik dikelola secara cerdas akan sangat dekat korelasinya dengan kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Bagaimana mungkin organisasi hidup tanpa mengalami konflik yang membangun dinamika.
Dalam tataran organisasi kenegaraan misalnya, Taiwan sanggup membangun negaranya menjadi salah satu “Macan” Asia yang berhasil dalam berbagai bidang kehidupan yang memakmurkan rakyat ditengah konfliknya dengan Republik Rakyat Cina. Korea Selatan juga demikian, ditengah konfliknya dengan Korea Utara. Para pemimpin Singapura selalu mengingatkan rakyatnya bahwa mereka tidak mempunyai apa-apa selain sumber daya manusia, tidak seperti negara-negara disekitarnya yang kaya akan sumber daya alam. Negara-negara tersebut selalu menempatkan dan mengelola konflik sebagai sesuatu yang memotivasi untuk selalu menjadi lebih baik. Dasar pemikiran mereka sederhana saja. Orang yang merasa terancam karena terlibat konflik tidak akan mempersepsi konflik sebagai sesuatu musibah, namun sebaliknya sebagai pemicu dinamika yang dasyat dalam rangka menggapai kemajuan yang lebih baik. Tidak heran Lu Xan mengatakan bahwa kita harus berani menyatakan “perang” terhadap Amerika. Tentu saja bukan perang fisik melalui adu senjata, melainkan perang intelektual, kreativitas dan tekhnologi.
Malaysia, lewat kepemimpinan Mahatir Muhammad yang dijuluki “a Little Soekarno” atau Mr MM. Telah berhasil menstimuli dan mengelola konflik menjadi sesuatu yang fungsional. Di mana pada awal tahun 1980an disaat partainya (UMNO) mulai berkuasa dan mengantarkannya ke kursi perdana menteri telah berhasil menyelesaikan konflik dengan lawan-lawannya. Dan setelah berkuasa dia menerapkan manajemen konflik yang jitu lewat menstimulius konflik dengan selalu meneriakkan semangat nasionalisme, persatuan, dan kerja keras sebagai bangsa timur agar tidak dipermainkan dan diperalat oleh bangsa barat. Bahkan dalam setiap forum baik regional (ASEAN) maupun internasional ( UN, OKI) selalu berteriak dengan lantang bahwa kita sebagai negara timur jangan mau dijadikan sebagai Cooli in the Natioon dan dianggap sebagai The Nation among in the Cooli. Kalimat yang sering dikemukakan Soekarno pada awal kemerdekaan, untuk memotivasi para pejuang kemerdekaan. Fakta telah menunjukkan Mr. MM telah berhasil membawa negara Malaysia sebagai The New Industrial Country dengan beberapa indicator diantaranya Income percapita dan Human Resource Development Indeks yang tinggi, jauh meninggalkan negara-negara asia lainnya. Hal itu tidak terlepas bagaimana teknik stimulasi konflik yang telah berhasil meningkatkan semangat dan motivasi masyarakat Malaysia untuk terus belajar, berjuang dan bekerja keras. Mohammad ( 2000 : 67)
Tapi banyak pula, contoh-contoh bagaimana sebuah konflik gagal di kelola, sehingga efektivitas organisasi menurun bahkan terjadi perpecahan. Uni Soviet pada saat kepemimpinan M. Gorbacev lewat teknik resolusi yang dikenal dengan Glasnost and Perestroika adalah salah satu bukti bagaimana konflik gagal dikelola dengan baik, yang pada akhirnya negara tersebut pecah menjadi 18 negara-negara bagian baru diantaranya Slovania,Croasia, Cekoslavia, Lituania, dan negara-negara kecil lainnya. Yang lebih menarik di sini, Haikal (1978 :220) Bahwa sebetulnya teknik-teknik mengelola konflik telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada 14 abad yang lalu atau tahun pertama Nabi Hijrah dari kota Mekkah ke sebuah oase kecil yang bernama Yastrib (yang pada akhirnya diberi nama Madinah) Dimana pada saat itu Konflik, Trik dan intrik antara kaum muhajirin dan kaum anshar begitu dahsyat yang akhirnya berhasil diselesaikan dengan lahirnya piagam Madinah. Proses itu menunjukkan sebuah langkah politik atau manajemen konflik yang bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh kedepan dari seorang Muhammad ketika menjadi pemimpin, dan sejarah telah mencatat, bahwa pada akhirnya Madinah menjadi Trading Center, Civilizasion center, dan merupakan ideal type dari sebuah peradaban pada waktu itu.
Pandangan Tradisional & Interactionist
Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama dalam memandang konflik, yaitu pandangan tradisional dan interactionist. Robbins (1994 : 453) Dalam pandangan tradisional, konflik diidentikkan dengan kekerasan, kehancuran dan irasionalitas sehingga akan mengganggu kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga dalam konsep pemikiran demikian, konflik selalu mengandung pengertian negatif, jelek dan destruktif. Tangungjawab manajemen adalah mencegah timbulnya konflik sampai ke akar-akarnya. Sebaliknya, dalam pandangan interactionist, konflik justru mendorong terjadinya efektifitas organisasi, dalam bentuk perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik, suatu organisasi akan statis, apatis dan tidak responsif. Namun, agar konflik dapat fungsional maka harus dikendalikan secara cerdas dan profesional, sehingga efektivitas organisasi akan optimal. Dalam pandangan ini, bukan berarti semua konflik adalah fungsional. Pasti ada konflik yang menimbulkan pengaruh negatif terhadap keefektifan organisasi. Dalam hal demikian, manajemen harus berusaha mengurangi konflik tersebut.
Hubungan Konflik dengan Efektivitas Organisasi
Pada awal makalah ini telah dipertegas, bahwa pada kondisi tertentu peran manusia sebagai makhluk individu bergeser ke makhluk sosial. Sehingga secara tidak langsung mengharuskan adanya pergeseran pemahaman dari konflik itu sendiri dari pandangan tradisional ke interactionist. Karena konflik akan selalu ada di mana terdapat interaksi atau kehidupan bersama. Hal ini menyebabkan munculnya pandangan bahwa konflik dapat meningkatkan efektifitas organisasi, dengan terus memanage konflik itu sendiri. Berikut adalah gambar dan tabel yang menunjukan hubungan antara konflik dengan efektivitas organisasi.
Berdasarkan gambar dan tabel di bawah dapat dijelaskan bahwa manajer harus berusaha mempertahankan konflik pada tingkat yang optimal dan jenis konflik yang fungsional. Sehingga akan didapatkan karakteristik internal organisasi yang bergairah, kritis terhadap diri sendiri dan inovatif dan pada akhirnya kefektifan organisasi akan tercapai. Sementara apabila konflik berada pada tingkat yang tinggi, jenis konflik sudah mengarah pada disfungsional dan sifat internal organisasi mengarah pada perpecahan, yang berakibat pada rendahnya efektifitas organisasi maka manajer harus meresolusi konflik sehingga kembali pada tingkat yang optimal. Tapi apabila tingkat konflik rendah, dan sifat internal organisasi yang cenderung apatis, stangnan dan tidak responsive dan efektifitas organisasi juga rendah maka menstimulasi konflik adalah solusi yang tepat bagi manajer.
Sumber-Sumber Konflik
Tanpa melupakan faktor-faktor lain penyebab munculnya konflik, Robbins (1994 : 457) memfokuskan pada sumber-sumber konflik yang bersumber dari struktur organisasi. Diantaranya, 1) Saling Ketergantungan Pekerjaan, 2) Ketergantungan pekerjaan satu arah, 3) Diferensiasi Horizontal yang tinggi, 4) Formalisasi yang rendah, 5) Ketergantungan pada sumber bersama yang langka, 6) Perbedaan dalam criteria evaluasi dan sistem imbalan, 7) Pengambilan keputusan partisipatif, 8) Keanekaragaman Anggota, 9) Ketidaksesuaian Status, 10) Ketidakpuasan peran, 11) Distorsi Komunikasi.Sedangkan Daft (1998 :487) menguraikan lebih luas dari Robins dengan menguraikan faktor-faktor penyebab konflik tidak hanya sekedar permasalahan struktur, tapi meliputi : 1)Environment, 2) Organization Size, 3) Technology, 4) Goals dan 5) Structure. Sementara Jones (2001 : 422) dalam bagian dari Pondy’s model menyebutkan lima sumber konflik diantaranya 1) Interdependence, 2) Differnces in Goals and Priorites, 3) Bureaucratic Factors, 4) Incompatible Performace Criteria dan 5) Competition For Scarce Resources.
Berdasarkan sumber-sumber konflik yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut, pada intinya relatif sama, yang sedikit berbeda adalah beberapa hal (sumber konflik) yang dikemukakan Daft, yang menganalisis sumber konflik tidak hanya yang bersumber dari struktur tapi juga dari luar struktur yaitu Technology, dan Environment. Sehingga dari apa yang diuraikan ketiga ahli tersebut, kami memberanikan diri (baca : Perlu diadakan diskusi lebih lanjut) memetakan dua sumber kelompok dari konflik, agar supaya memudahkan pemahaman kita, yaitu kekuatan yang bersumber dari struktur (internal). Dan kekuatan eksternal yaitu Technology dan Environment. Sehingga pembahasan sumber konflik kedepan dalam makalah ini didasarkan pada pengelompokkan tersebut.
Tabel 2. Sumber-Sumber Konflik.
Sumber Konflik | |
Internal | Eksternal |
Saling Ketergantungan Pekerjaan | Environment |
Ketergantungan pekerjaan satu arah | Technology |
Diferensiasi horizontal yang tinggi | |
Formalisasi yang rendah | |
Ketergantungan pada sumber bersama yang langka | |
Perbedaan dalam kriteria Evaluasi & Sistem Imbalan | |
Peengambilan keputusan partisipatif | |
Keanekaragaman Anggota | |
Ketidaksesuaian Status | |
Ketidaksesuaian Peran | |
Distorsi komunikasi | |
Birokrasi | |
Kriteria Kinerja Yang tidak sesuai |
Sumber Konflik dari Internal / Struktur Organisasi :
- Saling Ketergantungan Pekerjaan
- Ketergantungan Pekerjaan Satu Arah
- Diferensiasi Horisontal yang Tinggi
- Formalisasi yang rendah
- Ketergantungan Pada Sumber Bersama yang Langka
- Perbedaan dalam Kriteria Evaluasi dan sistem Imbalan
- Pengambilan Keputusan Partisipatif
- Keanekaragaman Anggota
Selaras dengan hipotesis diatas, kita dapat menjamin bahwa masa kerja sebuah kelompok akan berhubungan secara terbalik dengan konflik. Artinya, makin lama para anggota menjalin kerja sama, maka makin besar pula kemungkinannya bahwa mereka akan bergaul dengan baik pula. Banyak penelitian membenarkan proposisi tersebut. Ronald G. Corwin, (1969 :20) melakukan penelitian di sebuah sekolah, ditemukan bahwa konflik paling tinggi terjadi antara para dosen yang masih muda dan yang masa kerjanya yang paling pendek dan terendah dengan dosen / anggota yang lebih tua. Dari hasil penelitian ini kita bisa merefleksikan bahwa, unit-unit yang baru saja didirikan dengan personalia yang seluruhnya baru atau unit-unit yang mengalami tingkat keluar masuk yang tinggi di antara para anggotanya akan lebih mudah mendapatkan konflik.
- Ketaksesuaian Status
- Ketakpuasan Peran
Jika orang menerima sebuah peran, maka ia membawa serta sejumlah harapan dan aspirasi, Jika harapan-harapan tersebut tidak dipenuhi, Misalnya, jika pekerjaan mereka tampaknya tidak mencukupi maka individu tersebut dapat memperlihatkan frustasi mereka dalam sejumlah tindakan. Ada yang mengundurkan diri, ada yang mengurangi usaha yang mereka berikan pada pekerjaan mereka, yang lainnya lagi memilih untuk melawan. Kelompok terakhir ini dapat menjadi penstimuli konflik berkepanjangan. Mencari-cari masalah, menyebarkan desas-desus, memutarbalikkan dan mengubah fakta sehingga terjadi kekacauan, serta tindakan yang kurang lebih sama. Orang-orang demikian, dan semua organisasi yang besar paling tidak mempunyai satu kelompok seperti itu, tampaknya merasa senang jika dapat mengacaukan sistem yang ada. Sejauh mana mereka memperoleh kawan dalam usaha mereka, sejauh itu mereka dapat menjadi sumber utama konflik.
- Distorsi Komunikasi.
Disamping itu kesukaran semantic seringkali menjadi masalah dalam organisasi. Kesukaran itu menghalangi komunikasi yang penting bagi uasaha kerja sama diantara unit-unit. Kesukaran semantic dapat disebabkan oleh pendidikan, latar belakang dan proses sosialisasi yang dilalui para anggota unit yang berbeda-beda.
Sementara Aliran pragmatisme mengatakan bahwa, sumber konflik komunikasi bisa disebabkan karena sebuah unit dengan sengaja menyembunyikan informasi terhadap unit lainnya, karena informasi dapat membantu perolehan kekuasaan. Maka, sangat realistis jika informasi yang penting dengan sengaja dirahasiakan, konflik dapat berkembang. Tapi yang menarik, apabila kondisi diatas berlaku sebaliknya, tidak pula menjamin bahwa konflik tidak akan ada. Richard E Walton (1996 : 42) beradasrkan kajiannya justru konflik akan meningkat jika unit-unit itu mempunyai pengetahuan yang cukup banyak mengenai aktivitas departemen lainnya. Mengapa demikian ? Pengetahuan yang menyeluruh membuat kepentingan semua pihak menjadi terlihat dan memperlihatkan suatu atau semua ketaksamaan yang ada. Pengetahuan yang tidak sempurna, sebaliknya, menutupi kepentingan diri sendiri, menghilangkan ketaksamaan, dan membuat koordinasi semakin mudah. Kita dapat menyimpulkan bahwa komuniasi yang berbeda-beda dapat menjadi sumber konflik. Komunikasi yang tidak cukup atau yang tidak jelas dapat menstimuli konflik. Demikian juga halnya informasi yang sempurna atau komplit.
- Ø Birokrasi, Cara hubungan antar tugas berkembang dalam organisasi, juga dapat menjadi potensi munculnya konflik. Konflik juga dapat terjadi karena tidak konsistennya status antar kelompok-kelompok yang berbeda dalam birokrasi organisasi. Tipe klasik konflik birokrasi terjadi antara staf dengan fungsi lini. Suatu fungsi lini dalam organisasi terkait langsung dengan proses produksi. Pada suatu perusahaan manufaktur, produksi adalah fungsi lini; di rumah sakit, dokter adalah fungsi lininya; dan di universitas, profesor adalah fungsi lininya. Fungsi staf yaitu memberi dorongan kepada fungsi lini dengan melibatkan fungsi-fungsi lainnya seperti personalia, akuntansi dan pembelian. Di banyak organisasi, para pekerja pada fungsi lini memandang diri mereka sendiri sebagai sumberdaya yang paling penting dari organisasi, dan pekerja di fungsi staf sebagai pemain kedua. Dengan pendirian seperti itu, fungsi lini secara terus menerus berusaha untuk menempatkan keinginannya diatas keinginan fungsi-fungsi lain dalam organisasi. Hasilnya adalah konflik.
- Ø Kriteria Kinerja Yang Tidak Sesuai, Kadangkala konflik antar subunit terjadi bukan perbedaan tujuan, tetapi karena cara organisasi dalam memonitor, mengevaluasi dan menghargai subunit-subunit yang berbeda. Konflik antara bagian produksi dan penjualan dapat terjadi ketika untuk mencapai tujuan peningkatan penjualan, bagian penjualan menuntut bagian produksi untuk memenuhi permintaan pelanggan secepatnya, -suatu aksi yang dapat meningkatkan biaya produksi. Bila sistem insentif perusahaan menguntungkan bagian penjualan (yang mendapat bonus lebih besar karena dapat meningkatkan jumlah produk terjual), tetapi merugikan bagian produksi (yang tidak mendapatkan bonus karena biaya produksi yang justru meningkat), maka akan menimbulkan konflik. Cara perusahaan merancang strukturnya untuk mengkoordinasikan subunit-subunit, dapat menjadi potensi konflik.
Sumber konflik dari Eksternal / lingkungan:
- Ø .Environment
- Ø Technology
Dampak, Resolusi dan Stimuli Konflik.
Jika kita sepakat dengan pandangan interactionist, konflik tidak bisa dihindari. Bagi organisasi yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik agar efektif bagi organisasi. Konflik bisa berdampak negatif, seperti melemahnya hubungan antar pribadi, keterasingan, mudah marah/ tersinggung, dan lain-lain. Pada level organisasi konflik membawa dampak negatif berupa pemborosan energi, menurunnya rasa saling percaya, kurangnya kerja sama antar kelompok, dan terganggunya pencapaian tujuan organisasi. Konflik jika dikelola dengan baik akan berdampak positif dan konstruktif bagi organisasi, diantaranya sebagai tanda peringatan dini terhadap masalah yang muncul, sebagai katub pengaman, meningkatkan interaksi dan keterlibatan kelompok untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang timbul, menumbuhkan kreativitas, menjembatani penyelesaian masalah, serta menguji ide-ide yang muncul dari anggota organisasi.
Karakteristik Perilaku Individu Jika Terjadi Konflik
Jika konflik terjadi, menurut Daft (1998 : 485) akan muncul berbagai perubahan perilaku dalam kelompok, yaitu :
- Individu dalam suatu kelompok akan mengidentifikasi dirinya dengan kelompoknya dan menganggap seolah-olah dirinya terpisah dari kelompok lain.
- Kehadiran kelompok lain akan mengundang perbandingan antara “kelompok kami” dan “kelompok merreka.”
- Jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain maka anggota kelompoknya akan cepat menyatu dengan anggota kelompoknya.
- Anggota suatu kelompok cenderung memandang kelompok lain sebagai rival.
- Anggota kelompok cenderung menonjolkan arogansi dan merremehkan kelebihan atau keberhasilan kelompok lain.
- Komunikasi antar kelompok yang berkonflik akan menurun bahkan tersumbat.
- Kelompok yang berkonflik dengan kelompok lain akan cepat melempar kesalahan kepada kelompok lain.
- Konflik antar kelompok yang diikuti perubahan pada persepsi dan permusuhan terjadi secara alamiah, dalam situasi normal.
Teknik Resolusi
Robins (1994 :465) menawarkan teknik-teknik resolusi yang bersumber pada struktur untuk mengurangi konflik, jika tingkat konflik sudah berada pada level yang mengakibatkan tidak efektifitasnya organisasi.
Teknik-teknik resolusi tersebut antara lain :
- Ø Tujuan Superordinate
- Ø Mengurangi Kesalingtergantungan Antar Unit
- Ø Perluasan Sumber Daya
Memperluas sumber daya sebagai suatu penyelesaian konflik akan sangat berhasil karena membuat pihak-pihak yang berkonflik puas. Namun kegunaannya dibatasi oleh sifat dari keterbatasan yang terdapat didalamnya, sumber daya organisasi jarang sekali terdapat dalam jumlah yang dapat diperluas dengan mudah.
- Pemecahan Masalah Bersama
- Ø Sistem Naik banding,
- Wewenang Formal
- Ø Interaksi yang makin Bertambah
- Ø Kriteria Evaluasi untuk Seluruh Organisasi dan sistem Pemberian Imbalan
- Ø Membaurkan Unit yang sedang Berkonflik
Dengan argumen yang relatif sama, bahwa suatu organisasi harus menyeimbangkan akan kebutuhan konflik yang baik (good conflict) – yaitu yang mengatasi inersia dan memungkinkan pembelajaran baru bagi organisasi – dengan pencegahan peningkatan good conflict ke arah bad conflict – yaitu yang menyebabkan hancurnya koordinasi dan integrasi diantara fungsi-fungsi dan divisi-divisi. Jones (2001:427) menawarkan beberapa disain strategi penyelesaian konflik untuk membantu organisasi dalam mengelola konflik yang dihadapinya.
1. Perubahan pada Tingkat Struktur
Tindakan yang dilakukan yaitu mengubah struktur organisasi sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan penyebab konflik.
- Saling ketergantungan atas tugas dan perbedaan tujuan adalah dua hal utama yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, dan cara untuk menyelesaikannya adalah mengubah tingkat diferensiasi dan integrasi atas hubungan tugas-tugas. Suatu organisasi dapat mengubah dari suatu struktur fungsional ke struktur divisi produk, sehingga mereka dapat menemukan sumber konflik. Menurut Jones, perpindahan manajer ke struktur yang lain dapat mengurangi bahkan menghilangkan suatu sumber masalah konflik. Jika sedang terjadi konflik diantara divisi-divisi, intensitas peran dari seorang manajer meningkat dan top manajer bertanggung jawab untuk memecahkan konflik yang sedang terjadi dan meningkatkan struktur hubungan kerja. Pada umumnya, peningkatan integrasi merupakan satu cara utama dalam organisasi untuk mengelola masalah perbedaan tujuan subunit organisasi. Untuk mengatasi konflik yang potensial, organisasi dapat meningkatkan kegunaan dari peran suatu hubungan, kekuatan-kekuatan tugas serta tim-tim, dan mekanisme integrasi.
- Cara lain untuk mengelola konflik melalui perubahan struktur adalah menciptakan suatu keyakinan bahwa disain dari suatu wewenang hirarki organisasi berada pada garis yang sesuai dengan kepentingannya saat itu. Hilangnya kontrol pada sebuah rantai komando dapat menjadi sumber utama sebuah konflik pada saat anggota organisasi mendapat tanggung jawab untuk membuat keputusan-keputusan, tetapi di lain pihak dia tidak mempunyai wewenang yang cukup untuk memutuskannya, karena manajer diatasnya yang membuat keputusan terhadap setiap perubahan yang mereka buat. Meratakan hirarki – sehingga hubungan wewenang menjadi tegas – dan wewenang desentralisasi, dapat menghilangkan sumber utama suatu konflik organisasi. Disain organisasi yang baik seharusnya menghasilkan suatu kreasi struktur organisasi yang dapat meminimalisir konflik. Pada kebanyakan organisasi, karena inersia, organisasi gagal untuk mengelola strukturnya dan mengubahnya sesuai dengan perubahan lingkungan, sehingga akhirnya konflik menjadi meningkat dan efektifitas organisasi tidak tercapai.
- 2. Perubahan pada Sikap dan Individu
- Perbedaan tujuan dan keyakinan tentang cara yang terbaik untuk mencapai tujuan organisasi, tidak dapat dihindarkan karena perbedaan dari fungsi-fungsi dan divisi-divisi itu sendiri. Suatu cara untuk mengekang konflik antara subunit dan mencegah pengutuban sikap yang terjadi selama tahap merasakan konflik dalam Pondy’s model, adalah merancang suatu sistem prosedural yang memungkinkan pihak-pihak yang terlibat konflik membiarkan keluhan-keluhan mereka dan mendengarkan pendapat atau pandangan pokok dari pihak lain. Seorang negosiator dapat berperan dalam mencegah pengutuban attitudes yang terjadi selama tahap merasakan konflik, dengan demikian manifestasi konflik dapat dicegah. Suatu forum dapat membantu pihak-pihak yang berselisih untuk bertatap muka dan secara langsung menyelesaikan masalahnya, sehingga satu sama lain dapat saling memahami. Sistem prosedural merupakan hal yang terpenting dalam mengelola konflik antara manajer dan serikat kerja dalam perusahaan industri. Attitudinal structuring merupakan suatu rancangan proses untuk mempengaruhi attitudes dari partai yang beroposisi dan untuk menimbulkan persepsi bahwa kedua partai berada dalam sisi yang sama dan ingin memecahkan perselisihan secara damai.
- Cara lain dalam mengelola konflik melalui perubahan sikap adalah dengan pertukaran dan rotasi dari para pekerja diantara subunit yang dapat mendorong mereka untuk saling memahami pandangan masing-masing. Ketika attitudes seseorang sulit diubah, karena telah berkembang untuk periode waktu yang lama, satu-satunya cara untuk memecahkan konflik mungkin dengan mengubah posisi pekerja. Hal ini dapat dilakukan dengan memindahkan para pekerja secara permanen ke bagian lain organisasi, mempromosikan mereka, atau memecatnya.
Pondy ”s Model
Jones (2001 :422) menawarkan sebuah model, yang di beri nama pody’s model, dimana manajer dapat mengunakan model ini untuk menganalisis dan menginterpretasikan situasi konflik dan mengambil tindakan untuk mencari jalan keluar dari konflik tersebut.
Pada tahap pertama dalam model ini, konflik belum muncul tetapi potensi untuk muncul telah ada, meskipun tersembunyi. Konflik organisasi terjadi karena adanya diferensiasi vertikal dan horisontal, yang menyebabkan terbentuknya subunit-subunit organisasi yang berbeda, yang memiliki tujuan dan persepsi yang berbeda mengenai cara yang terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Ada 5 sumber potensial yang dapat menyebabkan konflik antar subunit dalam organisasi yaitu : ketergantungan antar subunit, perbedaan tujuan antar subunit, faktor-faktor birokrasi, kriteria kinerja yang tidak sesuai dan persaingan untuk mendapatkan sumberdaya.
Tahap kedua dari model Pondy yaitu konflik yang dapat diamati, dimulai ketika suatu subunit atau kelompok stakeholder merasa bahwa tujuan-tujuannya telah terganggu oleh aksi-aksi dari kelompok lain. Pada tahap ini, setiap subunit mulai mengidentifikasi mengapa konflik bisa terjadi, dan mulai menganalisis kejadian-kejadian apa yang telah memicunya. Setiap kelompok berusaha untuk mencari sumber dari konflik dan mulai mengkonstruksi skenario yang sesuai untuk masalah tersebut melalui konflik yang sedang dialami oleh subunit yang lain.
Sebagai contoh, divisi produksi tiba-tiba menyadari bahwa penyebab dari hampir seluruh masalahnya adalah bahan baku (input) yang kurang berkualitas. Ketika manajer produksi melakukan penyelidikan, mereka menemukan bahwa divisi persediaan (material) selalu membeli bahan baku yang paling murah, dan tidak berusaha untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan pemasok (supplier), yang dapat meningkatkan kualitas dan reliabilitas dari bahan bakunya. Divisi persediaan mengurangi biaya pembelian bahan baku dan memperbaiki fungsi dasarnya, tetapi hal itu menyebabkan biaya produksi meningkat dan memperburuk fungsi dasarnya. Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila divisi produksi menilai divisi persediaan sebagai pengganggu kebutuhan dan tujuan-tujuannya.
Biasanya pada titik ini, konflik telah meningkat seiring dengan dimulainya peperangan antar subunit atau stakeholder yang berbeda, untuk mengatasi penyebab dari masalah. Divisi produksi mengeluhkan divisi persediaan kepada CEO atau siapapun yang mendengarkan, agar divisi persediaan mau merubah praktek pembeliannya (purchasing). Divisi persediaan biasanya akan menentang tuduhan bahwa pembeliannya akan bahan baku yang murah, dapat menyebabkan penurunan kualitas. Bahkan ia akan menuduhkan kesalahan tersebut sebagai kegagalan divisi produksi dalam menyediakan pekerja-pekerja ahli yang dibutuhkan untuk menerapkan teknologi baru, dan mengembalikan tanggung jawab masalah kualitas ke tangan divisi produksi. Meskipun kedua fungsi tersebut berbagi tujuan yang sama dalam menciptakan produk dengan kualitas superior, mereka menyumbangkan kualitas yang rendah untuk sumber-sumber yang berbeda pula.
Pada Tahap ke Tiga adalah Merasakan Konflik (Felt Conflict). Pada tahap ini, subunit-subunit dengan cepat saling membangun tanggapan emosional. Biasanya, masing-masing unit mengembangkan mental keberpihakan (polarisasi), yang menimpakan kesalahan langsung pada subunit yang lain. Seiring dengan peningkatan konflik, kerjasama antar subunit juga menurun, demikian pula dengan efektivitas organisasi. Sebagai contoh, bila R & D, bagian persediaan dan bagian produksi bersitegang dalam menentukan kualitas dan spesifikasi produk akhir.
Seiring dengan pertentangan antar subunit dengan sudut pandang yang berbeda, konflik terus meningkat. Masalah aslinya mungkin sederhana, tetapi bila tidak diambil tindakan penyelesaian secepatnya, masalah yang tadinya kecil akan berkembang menjadi konflik yang besar, yang akan bertambah sulit untuk diatasi. Bila konflik tersebut tidak diselesaikan, konflik tersebut akan dengan mudah meningkat pada tahap selanjutnya.
Tahap ke empat Manisfestasi Konflik (Manifest Conflict). Pada tahap ini, satu subunit melawan subunit lainnya, melalui perusakkan tujuan-tujuannya. Manifestasi konflik dapat berbentuk bermacam-macam. Yang paling umum adalah agresi terbuka antara manusia dan kelompoknya. Terdapat banyak cerita dan mitos dalam organisasi tentang board room fighting, dimana para manajer benar-benar kehilangan kesabarannya karena ingin memperjuangkan kebutuhan/keinginannya. Hal ini sangat biasa, karena para manajer berusaha untuk mengembangkan karir mereka dan mengalahkan yang lainnya.
Bentuk yang paling efektif dari manifestasi konflik adalah agresi pasif, yaitu mengabaikan tujuan-tujuan pihak oposisi dengan cara diam. Misalnya ada konflik antara penjualan dan produksi. Suatu hari, bagian penjualan harus memenuhi pesanan mendadak dari pelanggan penting. Apa yang dilakukan oleh manajer produksi ?. Strateginya adalah dengan menyetujui permintaan pihak penjualan, tetapi kemudian tidak memenuhinya. Ketika manajer bidang penjualan datang untuk meminta pertanggungjawabannya, manajer produksi akan menjawab tanpa rasa bersalah “Oh, maksud anda jumat lalu. Saya kira jumat sekarang.”
Secara umum, sekali konflik bermanifestasi, efektivitas organisasi akan menurun karena koordinasi dan integrasi antara para manajer dan subunit menjadi terpecah. Para manajer harus melakukan segala cara untuk mencegah konflik agar tidak mencapai tahap manifestasi ini karena dua alasan, yaitu karena bisa menyebabkan perpecahan dalam komunikasi dan karena konsekuensi yang diakibatkan oleh konflik.
Tahap ke lima. Konsekuensi Konflik (Conflict Aftermath). Cepat atau lambat, konflik organisasi akan teratasi bagaimanapun caranya, dan seringkali melalui keputusan beberapa manajer senior. Bila sumber dari konflik belum teratasi, perdebatan dari masalah-masalah yang menyebabkan konflik, akan muncul kembali dalam konteks lain. Apa yang terjadi ketika konflik muncul kembali tergantung pada bagaimana cara konflik tersebut terselesaikan pada saat terdahulu.
Misalkan bagian penjualan datang ke bagian produksi dengan permintaan baru. Bagaimana kemungkinan sikap bagian produksi dan penjualan ? Mereka mungkin akan bersikap saling curiga dan saling menyerang satu dengan lainnya, dan akan merasa sulit untuk mencapai persetujuan dalam berbagai hal. Tetapi bila mereka telah bisa menyelesaikan perdebatan mereka yang terdahulu dengan cara damai, dan telah setuju untuk dapat merespons/menanggapi kebutuhan pelanggan penting secara lebih fleksibel. Maka ketika dikemudian hari bagian penjualan datang kembali dengan permintaan khusus, bagaimana bagian produksi akan bereaksi ? Manajer produksi mungkin akan menunjukkan kerjasamanya, dan kedua belah pihak akan mampu untuk berunding dan mencapai rencana bersama (gabungan) yang sesuai dengan kebutuhan kedua fungsi tersebut.
Setiap episode dari konflik meninggalkan konsekuensi yang dapat mempengaruhi cara kedua belah pihak dalam menerima dan menanggapi episode konflik selanjutnya. Bila suatu konflik terselesaikan sebelum mencapai tahap manifestasi, maka konsekuensi akan mengakibatkan hubungan kerja yang baik di masa yang akan datang. Tetapi bila konflik tidak terselesaikan sampai pada tahap terakhir dari proses, atau bahkan tidak terselesaikan sama sekali, konsekuensinya akan berakibat pada terbentuknya hubungan kerja yang buruk, dan budaya organisasi akan teracuni oleh hubungan yang tidak harmonis secara permanen. Sebagai contoh, para manajer pada First Boston, menghargai sikap merendahkan kolega mereka pada divisi lain dari organisasi. Mereka selalu bersikap tidak kooperatif dan sampai sekarang mereka masih melakukannya.
Sementara Daft (1998 :502) menawarkan Metode penyelesaian konflik diantaranya :
1. Collective Bargaining
Suatu pendekatan utama untuk memecahkan konflik serikat kerja dengan pihak manajemen adalah melalui Collective Bargaining (Penawaran Bersama). Collective bargaining adalah suatu kesepakatan antara pihak manajemen atau pimpinan dengan para pekerja. Proses tawar-menawar (bargaining) biasanya diselesaikan melalui sebuah serikat kerja dan proses tersebut harus sesuai dengan format yang telah ditentukan.
Collective bargaining melibatkan paling tidak dua kelompok yang mempunyai kepentingan masing-masing. Kegiatan collective bargaining biasanya dimulai dengan pengajuan proposal yang dievaluasi oleh kelompok lain. Kemudian dilanjutkan dengan memberi tanggapan terhadap proposal dan konsesi. Sebuah perjanjian yang telah ditetapkan pada akhirnya dicapai dengan menjelaskan beberapa pertanggungjawaban kelompok untuk dua sampai tiga tahun kedepan.
2.Cooperative Approaches
Pada saat ini lingkungan ekonomi mengarah pada sebuah kerjasama daripada mengarah kepada pendekatan konfrontasi antara hubungan pihak manajemen dengan buruh. Perubahan-perubahan ini berkembang dari kebutuhan-kebutuhan serikat kerja untuk mencegah kehilangan pekerja dan kepentingan perusahaan untuk menekan biaya produksi dan buruh.
Labor-management teams dirancang untuk meningkatkan partisipasi para pekerja dan membuat “cooperative model” atas permasalahan-permasalahn antara pihak manajemen dan serikat kerja. Fungsi utama dari sebuah tim adalah menggali pengetahuan para pekerja untuk memperbaiki produktivitas kerja mereka. Tim-tim ini terdiri atas tiga tingkat :
- Tingkat bawah, sebuah tim mungkin terdiri atas 10 pekerja yang mengidentifikasi masalah-masalah dan mengimplementasikan solusi-solusinya, hal ini sama dengan pendekatan quality circle.
- Manajer tengah dan para ketua serikat kerja lokal bertindak sebagai sebuah tim penasehat untuk mengkoordinasikan program-program dan mengimplementasikan saran-saran yang telah dibuat oleh tim.
- Tingkat atas, senior eksekutif perusahaan dan pimpinan teras serikat kerja menyusun kebijakan jangka panjang dan merencanakan pilihan-pilihan tentang pemutusan hubungan kerja. Pendekatan koordinasi ini mendorong partisipasi para anggota serikat kerja di dalam perusahaan dan meningkatkan pengenalan mereka terhadap perusahaan.
Problem Solving adalah rekonsiliasi kepentingan-kepentingan dasar pihak-pihak yang berkonflik. Risiko penggunaan metode ini adalah kemungkinan hubungan timbal balik yang negatif antara pihak-pihak yang bertentangan akan menghambat hasil bersama atau solusi akhirnya tida sebanding dengan waktu dan energi yang digunakan atau win-win solution pantas dipertanyakan.
Forcing adalah memaksakan kepentingan sendiri atau kelompoknya dengan menentang lawan secara langsung. Perilaku konflik dipandang konstruktif jika individu atau kelompok berhasil merealisasikan manfaat konflik yang dikehendaki. Resiko penggunaan metode ini antara lain eskalasi batas biaya yang ditetapkan,perusakan hubungan, dan kemacetan yang ditimbulkan oleh kegagalan taktik persaingan.
Gabungan Problem Solving dan Forcing, gabungan kedua metode tersebut akan bisa meningkatkan efektivitas konflik dengan meminimalkan kecendrungan dampak masing-masing metode tersebut (stagnasi dan meningkatnya eskalasi)
Berkaitan dengan penggujian efektifitas masing-masing metode untuk penyelewsaian konflik Vliert, et al (1998) melakukan studi pada beberapa obyek 3 obyek penelitian di Belanda, yaitu pada pusat pengembangan manajemen kepolisian nasional, pada mahasiswa University of Groningen dan para manajer. Hasil studi menunjukkan dalam upaya penyelesaian konflik, forcing murni lebih banyak digunakan dari pada problem solving, pengabungan dan penggiliran problem solving dan forcing. Problem Solving dan forcing murni memiliki intereelasi negatif dan masing-masing berhubungan positif dan negatif dengan efektivitas organisasi. Terdapat tiga kesimpulan umum dari studi tersebut, yaitu : 1) kombinasi simultan Problem Solving dan forcing akan efektif jika kombinasi pengurutan dihilangkan dalam pertimbangan. 2) Forcing tidak efektif kecuali jika diikuti dengan kombinasi forcing dan problem solving. 3) Pengulangan forcing yang dikuti oleh problem solving akan mendorong efektivitas organisasi.
Teknik Stimuli
Teknik-teknik Stimulasi untuk menciptakan konflik dalam sebuah organisasi (Brown :1998) jika konflik terlalu sedikit adalah dengan jalan klarifikasi batas dan sasaran kelompok, sehingga perbedaan diantara mereka menjadi semakin jelas dan bisa menimbulkan konflik .
Selain itu Robins (1994 :472) juga menawarkan teknik-teknik struktural pula untuk menstimulasi konflik jika konflik berada level yang rendah, sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi. Sementara menurut (Robins :1994) teknik-teknik stimuli konflik adalah sebagai berikut :
- Ø Komunikasi
- Ø Keanekaragaman
- Ø Persaingan
Sumber : http://funnymustikasari.wordpress.com/2011/02/05/managing-organization-conflict/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar