02, Sejarah Organisasi Kemahasiswaan
Ciri khas Kegiatan Organisasi Intra
Karena terbentuknya di fakultas-fakultas, maka senat mahasiswa
memusatkan diri pada usaha membantu para anggotanya dengan studinya.
Kegiatannya mencakup pembentukan
tenteer-klub, studi klub,
bursa buku, seminar, simposium, dan segala kegiatan yang mendukung
anggotanya untuk mencapai sukses di dalam studi.
Dalam rangka persaingan dengan organisasi extra, juga dilakukan
adalah kegiatan di bidang rekreasi, baik yang bersofistikasi seperti
mengadakan konser, malam seni, sineklub (untuk memutar film-film khusus
yang tidak terdapat di bioskop-bioskop), maupun rekreasi yang lebih
dangkal seperti berdansa dan berpiknik. Maka makin lama makin banyak
kegiatan yang selama itu dilakukan oleh organisasi extra, khususnya yang
lokal seperti GMD dan Imada, diselenggarakan juga oleh organisasi
intra.
Namun kegiatan utama organisasi intra (termasuk juga kebijaksanaan
redaksional pers-kampusnya) tetap dipusatkan kepada usaha mendukung
upaya Alma Maternya untuk melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi, yakni
Pendidikan/Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Dalam usaha itu organisasi-organisasi intern, khususnya di
Universitas Indonesia merasa menghadapi hambatan dari dua arah yang
berlainan.
- dari golongan politik yang ingin memperpolitikan kampus ke arah alirannya (menara air)
- dari golongan apolitis yang ingin depolitisasi kampus dan
ingin kehidupan yang diperciri oleh ungkapan ”Buku, Pesta dan
Cinta” (menara gading).
Karena itu, organisasi-organisasi intern sudah sejak dini menjadi
tempat pertarunganantara 3 golongan yang kini kita kenal dengan golongan
transpolitis, golongan politis dan golongan apolitis.
Perjuangan Intra Untuk Identitasnya
Pada awal tahun 1980-an ini situasi dunia kemahasiswaan sudah berubah
dibandingkan dengan keadaan tahun 1950-an maupun dengan keadaan tahun
1960-an dan tahun 1970-an.
Tahun 1950-an diperciri oleh iklim liberalisme dengan
laissez-faire-nya,
khususnya di bidang politik. Dalam situasi sedemikian, organisasi
extra, khususnya yang berazaskan ideologi politik yang partikularistik
maupun yang berazaskan agama (pada umumnya juga berpolitik),
kedudukannya paling menonjol, sehingga perjuangan organisasi intra untuk
menegakkan identitasnya sebagai komponen Alma Mater terasa berat.
Tahun 1960-an (sampai tahun 1966) diperciri oleh dampak Marxisme dan
dominasi kaum komunis dengan semboyan ”Politik adalah panglima”. Sudah
barang tentu dengan ”politik” dimaksudkan politik Partai Komunis
Indonesia (PKI) Dalam masa orde lama yang didominasi oleh PKI ini
organisasi extra juga tetap menonjol. Hanya saja yang menonjol kaum
komunis saja dengan satelit-satelitnya dan golongan yang ditolerir
olehnya.
Organisasi extra yang didukung oleh pemerintah Orde Lama adalah organisasi extra “Nasakom” yang merupakan
onderbouw
daripada partai-partai Nasakom. Yang paling menonjol adalah Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan GMNI-Asu, masing-masing sebagai
onderbouw PKI dan PNI-Asu.
Organisasi extra lainnya, seperti HMI, PMKRI, GMKI tidak diberi angin
atau bahkan dimusuhi. Organisasi lokal tergantung kepada pengurusnya.
GMD misalnya karena opportunisme pengurusnya, masuk dalam orbit Orde
Lama.Dalam suasana yang demikian itu perjuangan menegakkan identitas
organisasi intra semakin berat. Upaya menangkis dominasi atau infiltrasi
organisasi extra onderbouw atau satelit PKI itu menimbulkan reaksi yang
hebat dari mereka, dan mengundang ”cap” kontra-revolusi, reaksioner dan
Manikebu (Manifes Kebudayaan suatu dokumen yang dirumuskan oleh
sekelompok budayawan yang menentang dominasi PKI, ”Manikebu” dimaksudkan
sebagai maki-makian dengan konotasi anti PKI).
Organisasi Intra Mencari Darma
Dari sketsa sejarah itu kiranya jelas, perjuangan organisasi intra
untuk menegakkan identitasnya tidaklah mudah. Namun dengan segala
hambatan yang ada landasan identitas organisasi intra sebagai wadah bagi
mahasiswa sebagai
studerend wezen dapat ditegaskan.
Pada pertengahan tahun 1960-an, setelah runtuhnya Orde Lama karena
kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober 1965 didukung oleh aksi-aksi
Tritura selama beberapa bulan sesudahnya, terjadi perubahann situasi
yang luar biasa di dalam konstelasi politik di Indonesia. Sudah barang
tentu dampaknya sangat terasa di kampus. Bukan saja karena
gelombang-gelombang politik selalu memukul-mukul dinding kampus, juga
karena peranan mahasiswa sangat menonjol dalam peristiwa-peristiwa di
sekitar peralihan tahun 1965 -1966 itu.
Betapapun besarnya gejolak yang terjadi pada masa peralihan 1965-1966
itu namun dikotomi extra-intra tetap nampak. Yang tampil ke muka di
dalam aksi-aksi Tritura itu adalah organisasi extra, yang setelah
layunya PPMI tergabung di dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI).
Tidak berarti, bahwa organisasi intra tidak ikut serta di dalamnya,
namun lebih sebagai unsur daripada sebagai wahana keseluruhan. Yang
dipakai dalam aksi-aksi Tritura adalah panji-panji KAMI. Bahwa jaket
kuning UI yang menonjol dalam perjuangan menegakkan Orde Baru,
disebabkan oleh karena massa KAMI yang terbesar terdapat di UI dan
diorganisasi oleh KAMI-UI. Dan Kampus UI merupakan pusat perjuangan Orde
Baru dimana pelbagai kekuatan Orde Baru, khususnya mahasiswa dan ABRI
bertemu.
Amat menarik, bahwa dalam kebanyakan acara yang dipimpin oleh Ketua
KAMI-UI, yakni Abdul Gafur, Ketua DMUI yakni J.M.V. Suwarto, selalu ikut
serta. Namun massa yang digerakkan adalah massa yang sama. Dan nama
yang dipakai adalah nama KAMI, yang merupakan pengelompokkan organisasi
extra.
Pada tahun 1970-an aksi-aksi Tritura sudah berhasil menegakkan Orde
Baru dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 disusul dengan Sidang
Umum IV MPRS (20 Juni – 5 Juli 1966), Sidang Istimewa MPRS (7 – 12
Maret 1967) dan Sidang Umum V MPRS (21 – 30 Maret 1968).
Rupa-rupanya dengan pembebasan dari tirani Orde Lama, pendulum
sejarah berayunkembali ke arah kebebasan. Namun ayunan kembali itu
rupa-rupanya berjalan terlalu jauh, sehingga sudah bersifat liberter
(libertarian).
Dibeberapa kampus, libertarianisme ini sempat menimbulkan rezim
anarkistik di kalangan suatu segmen mahasiswa yang relatif kecil tetapi
vokal. Di Kampus UI, gejala anarkisme ini pada awal 1980-an telah
mencapai proporsi destruktif.
Perjuangan organisasi intra untuk menegaskan identitasnya, mengalami
setbeck yang serius, karena mengalami pembusukan dari dalam oleh
kekuatan-kekuatan luar kampus yang membentuk bloc within di dalam
tubuhnya. Karena itu dewan-dewan mahasiswa terpaksa dipotong dari tubuh
Sivitas Akademika untuk mencegah menjalarnya kanker itu ke bagian-bagian
lain daripadanya.
Menemukan Kembali Identitas Senat Mahasiswa
Ketika saya memangku jabatan Rektor UI pada tanggal 15 Januari 1982,
saya segera mencanangkan perjuangan untuk membebaskan Alma Mater dari
benalu anarkisme yang telah mengisap habis vitalitasnya. Ternyata seruan
perjuangan itu memperoleh tanggapan positif dari segenap Sivitas
Akademika, khususnya
the silent mayority di kalangan mahasiswa, yang gerakannya secara
silent pula.
Berkat langkah serempak itu kira-kira setahun yang lalu anarkisme di
UI dapat dipatahkan kekuatannya, sehingga kita dapat segera memasuki
tahap konsolidasi. Harapan saya adalah bahwa dalam masa konsolidasi itu
senat-senat mahasisa pada pelbagai fakultas dalam lingkungan UI dapat
segera mulai dengan upayanya untuk mengaskan identitasnya sebagai
pengurus sesuatu organisasi intra yang bersistem keanggotaan pasif dan
existensinya semata-mata karena Alma Maternya.
Sebagai pengurus organisasi intra, senat mahasiswa harus sepenuhnya
manunggal dengan Alma Mater, mendukung misinya yakni melaksanakan
Tridarma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan/pengajaran, Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat. Untuk darma pendidikan dan pengajaran
perlu didukung upaya para mahasiswa untuk melakukan kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler dan extrakurikuler. Untuk mendukung darma
pertama, harus ditingkatkan kegiatan membaca, yang berarti membantu
teman-teman memperoleh buku-buku tidak hanya texbook untuk menunjang
kegiatan intrakurikuler, melainkan juga untuk memperluas horisonnya
dengan buku-buku untuk kegiatan kokurikuler dan extrakurikuler.
Senat mahasiswa harus berupaya supaya selera baca teman-temannya
ditingkatkan, rasa cinta buku diperdalam. Terhadap kegiatan
extrakurikuler non-akademis kiranya generasi-generasi terbaru mahasiswa
UI memperlihatkan minat yang besar, yang terbukti dari banyaknya
mahasiswa baru mendaftarkan diri pada studiklub Eka Prasetya, pada
Paduan Suara dan pada pelbagai klub seni lainnya, pada Marching Band,
pada Resimen mahasiswa, pada pelbagai klub olahraga.
Dengan semakin banyaknya mahasiswa senior UI maupun seluruh kelompok
mahasiswa baru 1983 yang mempunyai ijazah Penataran P-4, maka Senat
Mahasiswa akan makin lama makin jauh ketinggalan kalau masih
mengasyikkan diri dengan soal-soal yang kekanak-kanakan seperti
inisiasi. Bilamana rata-rata mahasiswa UI sudah mencapai taraf pemikiran
mengenai soal-soal kehidupan bangsa seperti pemasaran kopra dan
eksploitasi gas bumi, mengenai stratifikasi nilai yang berpengaruh
kepada pengambilan keputusan di daerah dan di Pusat, maka Senat
Mahasiswa akan ditertawakan, jika ia menganggap kegiatan membaca sebagai
perilaku “kutu buku”.
Dalam kehidupan kampus sebagai masyarakat ilmiah, sudah sewajarnya
jika warganya banyak membaca dan berdiskusi ilmiah. Tugas kita adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan membodohkan kehidupan bangsa.
Senat Mahasiswa yang tidak tahu isi Undang-Undang Dasar 1945, tidak
tahu jiwa Pancasila, tidak punya bayangan apa kehendak rakyat
sebagaimana dirumuskan di dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara),
hendaknya jangan heran jika ia “tidak laku” dan ditinggalkan oleh massa
mahasiswa. Dari sana ia sudah harus menyimpulkan bahwa ia sudah mulai
tidak relevan lagi di mata mahasiswa.
Juga perlu saya sarankan, supaya Senat Mahasiswa jangan menyaingi
organisasi extra. Secara historik organisasi extra punya tempat dan
peranannya sendiri yang bersifat komplementer dengan kedudukan dan
fungsi organisasi intra. Sebaliknya, jangan pula Senat Mahasiswa menjadi
corong organisasi extra (manapun) karena hal itu akan melanggar
integritas Alma Mater. Sudah saya sampaikan bahwa universitas bukan
pasar loak bagi gagasan-gagasan usang dari luar dinding-dindingnya.
Karena itu kita menghindari pembicara dari luar kampus, kecuali yang
memang hebat dan kita perlukan sumbangan pikirannya.
Wasanakata
Dengan demikian saya mengharapkan, Senat-senat mahasiswa yang masih
berpikiran usang, segera mengejar ketinggalannya dengan senat-senat
mahasiswa yang sudah maju. Terutama kepada mereka yang sadar atau tidak
sadar, masih menjadi boneka-boneka kekuatan-kekuatan luar kampus, saya
serukan untuk berhenti memainkan peranan Si Malin Kundang yang
mendurhakai ibunya.
Senat Mahasiswa harus benar-benar menjadi Putra Alma Mater yang
berbakti kepadanya. Yang memperlambangkan Alma Mater di
fakultas-fakultas, adalah para
dekan. Jadi jangan sampai ada Senat Mahasiswa yang masih mau didalangi oleh sisa-sisa kaum anarkis yang menggosok-gosok gagasan usang
”student government”, yang menganggap senat mahasiswa setingkat dengan dekan.
Gagasan
”student government” seperti itu adalah gagasan anarkistis, suatu konsepsi
New Left yang
mau dilempar ke Indonesia karena di tanah asalnya sudah tidak laku
lagi. Menurut konsepsi kekeluargaan Pancasila, Dekan adalah bapak bagi
keluarga besar fakultas yang meliputi dosen, karyawan administrasi,
mahasiswa dan alumni. Dekan adalah pembina Korpri, Dharma Wanita, Senat
Mahasiswa, dan Iluni dalam lingkungan fakultas.
Jangan sampai Senat Mahasiswa menampilkan kontradiksi
a la komunisme
dalam lingkungan kampus kita.Kampus merupakan suatu keluarga dan
tata-pergaulannya berdasarkan kekeluargaan, bersemangat keselarasan,
keserasian dan keseimbangan. Sivitas Akademika menolak siasat adu-domba
antara sesama anggota keluarga.
Senat Mahasiswa adalah anggota keluarga besar fakultas di bawah
pimpinan Dekan seperti anggota keluarga yang lain. Tidak kurang, dan
tidak lebih.
Sumber : http://staff.blog.ui.ac.id/rani/2009/03/24/sejarah-organisasi-kemahasiswaan-bag2/