08. Dinamika Konflik
Managing organization Conflict
(Mengelola Konflik Organisasi)
Selain sebagai makhluk individu, manusia merupakan
sebagai makhluk sosial Soekamto (1996 :24). Di mana keduanya bukan
merupakan dikotomis yang tidak berhubungan, tapi merupakan titik yang
terhubung dari sebuah garis linear. Yang pada kondisi tertentu titik
tersebut akan bergeser dari domain makhluk individu menuju ke domain
makhluk sosial, dikarenakan dinamika lingkungan yang semakin dinamis.
Setiap individu dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang melekat di
dalamnya memiliki sejumlah kebutuhan (primer, sekunder & tertier)
yang harus dipenuhi, dan sesuatu yang ingin di capai dalam waktu
sekarang dan mendatang untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk
mewujudkan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan, tidak jarang
membutuhkan bantuan atau kerja sama dengan individu lain, sehingga
terbentuklah kelompok. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa kelompok
membentuk kelompok yang lebih besar dan dikenal dengan istilah
organisasi. Robbins (2004 :4) mendefinisikan organisasi sebagai kesatuan
(entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan
sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas
dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama
atau sekelompok tujuan. Dari pengertian tersebut, istilah kesatuan
sosial berarti bahwa unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang
yang berinteraksi satu sama lain.
Terlepas dari apakah organisasi tersebut merupakan organisasi
informal maupun formal, maka interaksi di antara anggota kelompok tidak
bisa dihindarkan. Ketika di dalam sebuah organisasi telah terjadi
interaksi antar individu yang ada, maka terjadinya konflik adalah
merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Tepat apa yang dikatakan
Lewis A. Coser (1972 :43), bahwa Konflik baik yang bersifat antar kelompok maupun intra-kelompok selalu ada ditempat orang hidup bersama.
Definisi Konflik
Brown (1998 :46), menyebutkan bahwa konflik merupakan bentuk
interaksi perbedaan kepentingan, persepsi dan pilihan. Wujudnya bisa
berupa ketidaksetujuan kecil sampai ke perkelahian.
Thomson, sebagaimana dikutip
Robbins
(1994 : 450) mengambarkan konflik sebagai prilaku anggota organsiasi
yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Prosesnya
dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah menghalangi atau
akan menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya. Sementara
Jones (2001:420) mendefinisikan konflik sebagai
The clash that occurs when the goal-directed behavior of one group block or thwarts the goal another.
Sedangkan beberapa literatur menyebutkan makna konflik sebagai sebuah
perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dan
organisasi, yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber
daya yang langka atau aktivitas kerja dan mereka mempunyai status,
tujuan, nilai atau pandangan yang berbeda, dimana masing-masing pihak
berupaya untuk memenagkan kepentingan atau pandangannya.
Robbins (1994:451) menganalisis Persamaan dan perbedaan
beberapa definisi di atas. Persamaan dari beberapa definisi terletak
pada konsep mengenai oposisi, kelangkaan dan halangan. Dan asumsi bahwa
terdapat dua pihak atau lebih yang kepentingannya atau tujuannya
kelihatannya tidak cocok. Sementara Perbedaan di antara
definisi-definisi itu cenderung berpusat pada
maksud (yang
merupakan perdebatan mengenai apakah prilaku yang menghalangi harus
merupakan tindakan yang ditentukan atau apakah maksud itu terjadi
sebagai akibat dari keadaan yang kebetulan saja). Dan apakah konflik
adalah sebuah istilah yang hanya terbatas pada
tindakan terbuka (
yang merupakan perdebatan dimana beberapa pihak meminta adanya
tanda-tanda pertikaian atau pertarungan terbuka sebagai criteria bagi
eksistensi konflik.)
Robbins (1994:451) kembali mempertegas, bahwa terlepas
persamaan dan perbedaan tersebut, konflik harus dirasakan oleh
pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Apakah konflik tersebut memang
ada, itu adalah masalah persepsi. Jika tidak ada yang merasakan adanya
konflik, pada umumnya konflik dianggap tidak ada. Begitu juga
sebaliknya. Sehingga Robbins lebih senang menggunakan definisi konflik
sebagai pengakuan adanya kesadaran (persepsi), oposisi, kelangkaan dan
halangan. Selanjutnya Robbins, mengasumsikan bahwa konflik merupakan
tindakan yang ditentukan, yang dapat timbul pada tingkat yang
tersembunyi atau terbuka.
Bentuk dan Jenis Konflik
Pembahasan mengenai apa sebenarnya konflik diatas membawa kita pada pemetaan pada bentuk dari konflik itu sendiri.
Daft (1998:483) secara garis besar membagi konflik menjadi dua yaitu
Intergroup Conflict atau konflik antar kelompok (
vertical and horizontal Conflict) dan
Interdepartemental Conflict atau
Konflik antar departemen. Konflik vertical yaitu konflik yang terjadi
diatara level yang berbeda dalam sebuah hirarki organisasi. Sedangkan
konflik horisontal terjadi di antara kelompok atau departemen yang
mempunyai level yang sama dalam sebuah hirarki organisasi.
Sedangkan
Myer (1992 :453) membagi tiga bentuk konflik dalam
organisasi, yaitu : 1) konflik pribadi, merupakan konflik yang terjadi
dalam diri setiap individu karena pertentangan antara apa yang menjadi
harapan dan keinginannya dengan apa yang dia hadapi atau dia peroleh. 2)
konflik antar pribadi, merupakan konflik yang terjadi antara individu
yang satu dengan individu yang lain, dan 3) konflik organisasi,
merupakan konflik perilaku antara organisasi dimana anggota kelompok
menunjukkan keakuan kelompoknya dan membandingkan dengan kelompok lain,
dan mereka menganggap bahwa kelompok lain menghalangi pencapain tujuan
atau harapan-harapannya.
Fokus Teori Organisasi
Agar supaya tidak terjadi tumpang tindih pemahaman konflik dari segi
pembahasan Teori organisasi dan Prilaku Organisasi. Perlu kami tegaskan
bahwa pembahasan makalah ini terfokus pada koordinasi antar unit
sehingga kita melihat konflik sebagai akibat dari adanya kekurangan di
dalam desain organisasi. Bukan terfokus pada konflik antar pribadi dan
antar kelompok, sehingga semua konflik akan dilihat sebagai masalah
manusia ( Fokus kajian Prilaku Organisasi).
Nilai-nilai Konflik dalam Masyarakat
Sebagai mana kita ketahui bahwa nilai-nilai yang diajarkan dan dianut
dalam masyarakat kita selalu bersifat anti-konflik. Nilai-nilai
persatuan, kesatuan, kerjasama dan gotong royong selalu ditekankan untuk
dapat mencapai tujuan bersama. Di lain pihak, nilai-nilai demokrasi,
musyawarah untuk mufakat juga menghargai perbedaan pendapat orang lain
tidak jarang dikorbankan secara tidak proporsional demi menjaga
kelestarian nilai-nilai sosial di atas. Sebagian besar dari kita masih
cenderung memandang konflik sebagai hal yang harus dihindari bukan
sebagai realita yang harus di-
manage. Hal itu bisa kita lihat
dalam idiom-idom yang sengaja diciptakan oleh komunitas masyarakat
tertentu. sebagai contoh masyarakat jawa yang selalu berusaha untuk
menciptakan kondisi masyarakat yang diidiomkan dengan “
Gemah ripah loh jinawi tentrem rahardjo mbangun karso.”
Idiom tersebut mengajarkan kepada masyarakat jawa menginginkan adanya
masyarakat yang makmur dan terus membangun dalam suasana yang tentram.
Proses membangun /mbangun karso akan terhambat jika konflik terjadi. Hal
ini secara tidak langsung telah melegitimasi akan bahayanya konflik.
Dalam konteks organisasi perusahanpun kurang lebih sama, sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan Hardjana (2002 :5) terhadap 200 manajer
di Jakarta dengan menggunakan metode
Focus Group Discuss dengan pendekatan
Naturalistis
menunjukkan hasil dimana sebagian besar / 65 % para manajer masih
menganggap konflik sebagai sesuatu yang merugikan dan harus dihindari.
Hal lain yang menyebabkan nilai-nilai anti konflik yang masih tinggi
dalam masyarakat kita, disebabakan karena selama tiga dasawarsa sistem
kenegaraan kita juga tidak mendukung terhadap munculnya konflik. Sistem
demokrasi hampir tidak ada, perbedaan pendapat selalu dinihilkan.
Pengambilan keputusan yang cenderung sentralis dan peran militer dalam
kehidupan negara sangatlah dominan. Padahal kalau kita cermati secara
mendalam dinamika kehidupan berorganisasi dalam bentuk, jenis dan ukuran
apapun tidak akan terjadi tanpa adanya konflik. Kita perlu mempersepsi
konflik sebagai realita yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti
sehingga bisa membuat kehidupan organisasi menjadi stagnan. Sebaliknya
konflik harus diterima sebagai “mesin” dinamika organisasi yang harus
dikelola secara cerdas. Karena dalam kenyataannya, konflik tidak
selamanya bersifat destruktif.
Dalam konteks pemikiran seperti itulah, konflik juga tidak identik
dengan kegagalan atau kemunduran, tapi merupakan awal sebuah dinamika.
Karena di tengah terjadinya konflik sebenarnya sedang berlangsung proses
reparadigming. Lebih dari itu, pola belajar dan bekerja yang hanya menggarisbawahi hal-hal yang jelas dan kaku sebenarnya tidak memiliki
learning values.
Bahkan, mudah membuat seseorang hidup berputar-putar dalam tempurung
paradigma yang sama dan membelenggu, tidak bergairah serta statis. Untuk
itulah konflik sebagai unsur dinamis dari kehidupan berorganisasi
betapapun kecilnya perlu dikelola dengan tepat, cepat dan profesional.
Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama dalam meraih
performance
yang optimal dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktek
persepsi demikian tampaknya masih timpang. Selama ini organisasi tanpa
konflik selalu dipersepsi sebagai kondisi ideal, harmonis, pantas di-”
bencmark”.
Jarang sekali kita memandang konflik sebagai “vitamin” kehidupan
organisasi, tapi justru sebagai virus pembawa “penyakit”. Padahal bila
konflik dikelola secara cerdas akan sangat dekat korelasinya dengan
kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Bagaimana mungkin
organisasi hidup tanpa mengalami konflik yang membangun dinamika.
Dalam tataran organisasi kenegaraan misalnya, Taiwan sanggup
membangun negaranya menjadi salah satu “Macan” Asia yang berhasil dalam
berbagai bidang kehidupan yang memakmurkan rakyat ditengah konfliknya
dengan Republik Rakyat Cina. Korea Selatan juga demikian, ditengah
konfliknya dengan Korea Utara. Para pemimpin Singapura selalu
mengingatkan rakyatnya bahwa mereka tidak mempunyai apa-apa selain
sumber daya manusia, tidak seperti negara-negara disekitarnya yang kaya
akan sumber daya alam. Negara-negara tersebut selalu menempatkan dan
mengelola konflik sebagai sesuatu yang memotivasi untuk selalu menjadi
lebih baik. Dasar pemikiran mereka sederhana saja. Orang yang merasa
terancam karena terlibat konflik tidak akan mempersepsi konflik sebagai
sesuatu musibah, namun sebaliknya sebagai pemicu dinamika yang dasyat
dalam rangka menggapai kemajuan yang lebih baik. Tidak heran Lu Xan
mengatakan bahwa kita harus berani menyatakan “perang” terhadap Amerika.
Tentu saja bukan perang fisik melalui adu senjata, melainkan perang
intelektual, kreativitas dan tekhnologi.
Malaysia, lewat kepemimpinan Mahatir Muhammad yang dijuluki “
a Little Soekarno”
atau Mr MM. Telah berhasil menstimuli dan mengelola konflik menjadi
sesuatu yang fungsional. Di mana pada awal tahun 1980an disaat partainya
(UMNO) mulai berkuasa dan mengantarkannya ke kursi perdana menteri
telah berhasil menyelesaikan konflik dengan lawan-lawannya. Dan setelah
berkuasa dia menerapkan manajemen konflik yang jitu lewat menstimulius
konflik dengan selalu meneriakkan semangat nasionalisme, persatuan, dan
kerja keras sebagai bangsa timur agar tidak dipermainkan dan diperalat
oleh bangsa barat. Bahkan dalam setiap forum baik regional (ASEAN)
maupun internasional ( UN, OKI) selalu berteriak dengan lantang bahwa
kita sebagai negara timur jangan mau dijadikan sebagai
Cooli in the Natioon dan dianggap sebagai
The Nation among in the Cooli.
Kalimat yang sering dikemukakan Soekarno pada awal kemerdekaan, untuk
memotivasi para pejuang kemerdekaan. Fakta telah menunjukkan Mr. MM
telah berhasil membawa negara Malaysia sebagai
The New Industrial Country dengan beberapa indicator diantaranya
Income percapita dan
Human Resource Development Indeks
yang tinggi, jauh meninggalkan negara-negara asia lainnya. Hal itu
tidak terlepas bagaimana teknik stimulasi konflik yang telah berhasil
meningkatkan semangat dan motivasi masyarakat Malaysia untuk terus
belajar, berjuang dan bekerja keras. Mohammad ( 2000 : 67)
Tapi banyak pula, contoh-contoh bagaimana sebuah konflik gagal di
kelola, sehingga efektivitas organisasi menurun bahkan terjadi
perpecahan. Uni Soviet pada saat kepemimpinan M. Gorbacev lewat teknik
resolusi yang dikenal dengan
Glasnost and Perestroika adalah
salah satu bukti bagaimana konflik gagal dikelola dengan baik, yang pada
akhirnya negara tersebut pecah menjadi 18 negara-negara bagian baru
diantaranya Slovania,Croasia, Cekoslavia, Lituania, dan negara-negara
kecil lainnya. Yang lebih menarik di sini, Haikal (1978 :220) Bahwa
sebetulnya teknik-teknik mengelola konflik telah dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW pada 14 abad yang lalu atau tahun pertama Nabi Hijrah dari
kota Mekkah ke sebuah oase kecil yang bernama Yastrib (yang pada
akhirnya diberi nama Madinah) Dimana pada saat itu Konflik, Trik dan
intrik antara kaum muhajirin dan kaum anshar begitu dahsyat yang
akhirnya berhasil diselesaikan dengan lahirnya piagam Madinah. Proses
itu menunjukkan sebuah langkah politik atau manajemen konflik yang
bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang
tepat serta pandangan jauh kedepan dari seorang Muhammad ketika menjadi
pemimpin, dan sejarah telah mencatat, bahwa pada akhirnya Madinah
menjadi Trading Center, Civilizasion center, dan merupakan ideal type
dari sebuah peradaban pada waktu itu.
Pandangan Tradisional & Interactionist
Pada hakekatnya terdapat dua pandangan utama dalam memandang konflik,
yaitu pandangan tradisional dan interactionist. Robbins (1994 : 453)
Dalam pandangan tradisional, konflik diidentikkan dengan kekerasan,
kehancuran dan irasionalitas sehingga akan mengganggu kerjasama untuk
mencapai tujuan organisasi. Sehingga dalam konsep pemikiran demikian,
konflik selalu mengandung pengertian negatif, jelek dan destruktif.
Tangungjawab manajemen adalah mencegah timbulnya konflik sampai ke
akar-akarnya. Sebaliknya, dalam pandangan
interactionist,
konflik justru mendorong terjadinya efektifitas organisasi, dalam bentuk
perubahan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Tanpa konflik,
suatu organisasi akan statis, apatis dan tidak responsif. Namun, agar
konflik dapat fungsional maka harus dikendalikan secara cerdas dan
profesional, sehingga efektivitas organisasi akan optimal. Dalam
pandangan ini, bukan berarti semua konflik adalah fungsional. Pasti ada
konflik yang menimbulkan pengaruh negatif terhadap keefektifan
organisasi. Dalam hal demikian, manajemen harus berusaha mengurangi
konflik tersebut.
Hubungan Konflik dengan Efektivitas Organisasi
Pada awal makalah ini telah dipertegas, bahwa pada
kondisi tertentu peran manusia sebagai makhluk individu bergeser ke
makhluk sosial. Sehingga secara tidak langsung mengharuskan adanya
pergeseran pemahaman dari konflik itu sendiri dari pandangan tradisional
ke interactionist. Karena konflik akan selalu ada di mana terdapat
interaksi atau kehidupan bersama. Hal ini menyebabkan munculnya
pandangan bahwa konflik dapat meningkatkan efektifitas organisasi,
dengan terus memanage konflik itu sendiri. Berikut adalah gambar dan
tabel yang menunjukan hubungan antara konflik dengan efektivitas
organisasi.
Berdasarkan gambar dan tabel di bawah dapat dijelaskan bahwa manajer
harus berusaha mempertahankan konflik pada tingkat yang optimal dan
jenis konflik yang fungsional. Sehingga akan didapatkan karakteristik
internal organisasi yang bergairah, kritis terhadap diri sendiri dan
inovatif dan pada akhirnya kefektifan organisasi akan tercapai.
Sementara apabila konflik berada pada tingkat yang tinggi, jenis konflik
sudah mengarah pada disfungsional dan sifat internal organisasi
mengarah pada perpecahan, yang berakibat pada rendahnya efektifitas
organisasi maka manajer harus meresolusi konflik sehingga kembali pada
tingkat yang optimal. Tapi apabila tingkat konflik rendah, dan sifat
internal organisasi yang cenderung apatis, stangnan dan tidak responsive
dan efektifitas organisasi juga rendah maka menstimulasi konflik
adalah solusi yang tepat bagi manajer.
Sumber-Sumber Konflik
Tanpa melupakan faktor-faktor lain penyebab munculnya konflik
, Robbins
(1994 : 457) memfokuskan pada sumber-sumber konflik yang bersumber dari
struktur organisasi. Diantaranya, 1) Saling Ketergantungan Pekerjaan,
2) Ketergantungan pekerjaan satu arah, 3) Diferensiasi Horizontal yang
tinggi, 4) Formalisasi yang rendah, 5) Ketergantungan pada sumber
bersama yang langka, 6) Perbedaan dalam criteria evaluasi dan sistem
imbalan, 7) Pengambilan keputusan partisipatif, 8) Keanekaragaman
Anggota, 9) Ketidaksesuaian Status, 10) Ketidakpuasan peran, 11)
Distorsi Komunikasi.
Sedangkan
Daft (1998 :487) menguraikan lebih luas dari
Robins dengan menguraikan faktor-faktor penyebab konflik tidak hanya
sekedar permasalahan struktur, tapi meliputi : 1)
Environment, 2)
Organization Size, 3)
Technology, 4)
Goals dan 5)
Structure. Sementara Jones (2001 : 422) dalam bagian dari
Pondy’s model menyebutkan lima sumber konflik diantaranya 1)
Interdependence, 2)
Differnces in Goals and Priorites, 3)
Bureaucratic Factors, 4)
Incompatible Performace Criteria dan 5)
Competition For Scarce Resources.
Berdasarkan sumber-sumber konflik yang dikemukakan oleh ketiga ahli
tersebut, pada intinya relatif sama, yang sedikit berbeda adalah
beberapa hal (sumber konflik) yang dikemukakan Daft, yang menganalisis
sumber konflik tidak hanya yang bersumber dari struktur tapi juga dari
luar struktur yaitu
Technology, dan
Environment.
Sehingga dari apa yang diuraikan ketiga ahli tersebut, kami memberanikan
diri (baca : Perlu diadakan diskusi lebih lanjut) memetakan dua sumber
kelompok dari konflik, agar supaya memudahkan pemahaman kita, yaitu
kekuatan yang bersumber dari struktur (internal). Dan kekuatan
eksternal yaitu
Technology dan
Environment. Sehingga pembahasan sumber konflik kedepan dalam makalah ini didasarkan pada pengelompokkan tersebut.
Tabel 2. Sumber-Sumber Konflik.
Sumber Konflik |
Internal |
Eksternal |
Saling Ketergantungan Pekerjaan |
Environment |
Ketergantungan pekerjaan satu arah |
Technology |
Diferensiasi horizontal yang tinggi |
|
Formalisasi yang rendah |
|
Ketergantungan pada sumber bersama yang langka |
|
Perbedaan dalam kriteria Evaluasi & Sistem Imbalan |
|
Peengambilan keputusan partisipatif |
|
Keanekaragaman Anggota |
|
Ketidaksesuaian Status |
|
Ketidaksesuaian Peran |
|
Distorsi komunikasi |
|
Birokrasi |
|
Kriteria Kinerja Yang tidak sesuai |
|
Sumber : Diolah berbagai sumber
Sumber Konflik dari Internal / Struktur Organisasi :
- Saling Ketergantungan Pekerjaan
Kesaling tergantungan pekerjaan merujuk kepada sejauh mana dua unit
dalam sebuah organisasi saling tergantung satu sama lain pada bantuan,
informasi, kerelaan, atau aktivitas koordinasi lain untuk menyelesaikan
tugas masing-masing secara efektif.
- Ketergantungan Pekerjaan Satu Arah
Sumber konflik ini berlawanan dengan
kesalingtergantungan, ketergantungan satu arah berarti keseimbangan
kekuasaan telah bergeser ke salah satu kelompok. Prospek dari munculnya
konflik dalam kondisi seperti ini pasti lebih tinggi karena unit yang
dominan mempunyai dorongan yang sedikit saja untuk bekerja sama dengan
unit yang berbeda di bawahnya.
- Diferensiasi Horisontal yang Tinggi
Makin besar perbedaan yang terdapat di antara unit,
makin besar pula kemungkinan timbulnya konflik. Jika unit-unit dalam
organisasi amat didiferensiasi, maka tugas yang dilakukan masing-masing
unit dan sub lingkungannya yang ditangani oleh masing-masing sub unit
cenderung tidak sama. Hal ini pada gilirannya, akan mengakibatkan
terjadinya perbedaan internal yang cukup besar diantaranya unit-unit.
Hal ini diperkuat pendapat
Howard E, Aldrich (1979 :94) yang
menyatakan bahwa diferensiasi horizontal yang tinggi akan menyebabkan
tujuan, orientasi waktu dan falsafah manajemen yang berbeda-beda
diantara unit-unit., hasil pengamatan yang dilakukannya di sebuah
perusahaan manufaktur menunjukkan bahwa orang-orang di bagian produksi
cenderung mempunyai perspektif jangka pendek. Sebaliknya, para peneliti
di laboratorium dalam perusahaan yang sama cenderung mempunyai masa
orientasi yang lebih panjang. Hal ini disebabkan pelatihan yang mereka
dapat telah mendoktrin suatu perspektif waktu yang berbeda ditambah
tuntutan pekerjaan yang memperkuat orientasi tersebut. Tentu saja,
differnsiasi yang tinggi tidak dengan sendirinya mengakibatkan konflik.
Harus ada
Trade Off diantara perbedaan orientasi tersebut.
Peraturan dibuat untuk mengurangi konflik dengan
mengurangi kedwiartian. Formalisasi yang tinggi membangun cara-cara yang
distandarisasi bagi unit-unit untuk saling bergaul. Penetapan mengenai
peran harus jelas sehingga para anggota unit tersebut mengetahui apa
yang diharapkan dari yang lain. Sebaliknya, jika formalisasi itu rendah,
potensi terjadinya pertikaian mengenai batas-batas kekuasaan akan
meningkat.
- Ketergantungan Pada Sumber Bersama yang Langka
Potensi konflik dipertinggi jika dua unita atau
lebih bergantung pada pool sumber yang langka seperti ruang gerak fisik,
peralatan, dana operasi, alokasi anggaran modal. Potensi tersebut
meningkat lebih lanjut jika anggota-anggota unit merasakan bahwa
kebutuhan individualnya tidak dapat diperolehnya dari pool sumber daya
yang tersedia ketika kebutuhan unit lain dipernuhi. Jika unit-unit
merasakan situasi tersebut sebagai “zero-sum”, apapun yang anda peroleh
berasal dari saya-anda dapat memperkirakan bahwa konflik antar unit,
impian tentang hal-hal yang besar, memonopoli sumber daya, dan prilaku
lainnya kemungkinan akan mengurangi keefektifan organisasi.
- Perbedaan dalam Kriteria Evaluasi dan sistem Imbalan
Makin banyak evaluasi dan imbalan manajemen yang
menekankan prestasi setiap departemen secara terpisah-pisah dari pada
secara gabungan, maka mkin besar pula konfliknya.
- Pengambilan Keputusan Partisipatif
Demokrasi dan konflik merupakan dua sisi mata uang
yang tidak bisa dipisahkan. Dalam situasi seperti itu setiap anggota
organisasi mempunyai peluang yang cukup besar untuk diikutkan dalam
proses pengambilan keputusan. Proses partisipatif memberi kesempatan
yang lebih besar untuk mengutarakan perselisihan yang ada dan untuk
menimbulkan ketaksepakatan. Kemungkinan ini khususnya dapat terjadi jika
perbedaan nilai yang sebenarnya terdapat diantara para peserta.
Penelitian menunjukkan bahwa interaksi yang tinggi yang terjadi dalam
partisipasi dapat memperkeras perbedaan ketimbang memudahkan koordinasi
dan kerja sama. Hasilnya adalah perbedaan opini yang lebih besar serta
kesadaran yang lebih besar tentang konflik. Dalam banyak hal, intensitas
konflik tersebut mungkin tidak lebih besar setelah partisipasi
dibandingkan sebelumnya, tetapi hal itu cenderung untuk memindahkan
konflik dari ayng laten ke yang terbuka.
Makin
homogen anggota, makin besar kemungkinan mereka bekerja dengan tenang dan bersama-sama, makin
heterogen
anggota makin kecil kemungkinan mereka bekerja dengan tenang dan
bersama-sama. Heterogenitas bisa berupa latar belakang, nilai-nillai,
pendidikan, umur dan pola-pola sosial.
Selaras dengan hipotesis diatas, kita dapat menjamin bahwa masa kerja
sebuah kelompok akan berhubungan secara terbalik dengan konflik.
Artinya, makin lama para anggota menjalin kerja sama, maka makin besar
pula kemungkinannya bahwa mereka akan bergaul dengan baik pula. Banyak
penelitian membenarkan proposisi tersebut.
Ronald G. Corwin,
(1969 :20) melakukan penelitian di sebuah sekolah, ditemukan bahwa
konflik paling tinggi terjadi antara para dosen yang masih muda dan yang
masa kerjanya yang paling pendek dan terendah dengan dosen / anggota
yang lebih tua. Dari hasil penelitian ini kita bisa merefleksikan bahwa,
unit-unit yang baru saja didirikan dengan personalia yang seluruhnya
baru atau unit-unit yang mengalami tingkat keluar masuk yang tinggi di
antara para anggotanya akan lebih mudah mendapatkan konflik.
Konflik terstimulus jika terjadi ketaksesuaian dalam penilaian status atau karena adanya perubahan dalam hirarki status.
Jhon A. Seiler
(1963 :32) menemukan, peningkatan konflik ditemukan jika tingkat dimana
status pribadi, atau bagaimana orang melihat pribadinya sendiri, dan
tingkat dari perwakilan dari departemen berbeda dalam urutan tingkatan
dimensi status. Dimensi tersebut antara lain lamanya masa kerja, umur,
pendidikan, dan upah. Bukti lebih lanjut , bahwa konflik akan muncul
jika tidak ada konsistensi dalam status ditemukan dalam kajian klasik
William F Whyte
: 1948 tentang industri rumah makan. Konflik ditemukan jika para
pelayan yang berstatus rendah memberi “perintah” kepada koki yang
berstatus tinggi. Karena adanya ketidaksesuaian antara prakarsa dan
status, maka para koki dipersepsikan berada pada tingkat prestise yang
lebih rendah.
Yang dekat dengan ketaksesuaian status adalah ketakpuasan peran.
Ketakpuasan peran dapat berasal dari sejumlah sumber, salah satu
diantaranya adalah ketakpuasan status. Jika seseorang merasa bahwa ia
berhak mendapatkan promosi untuk mencerminkan rekor keberhasilannya,
maka ia menderita ketakpuasan peran maupun ketaksesuaian status yang
dipersepsikan. Namun, pada bagian ini, kami ingin menekankan bahwa cara
orang mempersepsikan dirinya sendiri dalam posisi masing-masing dapat
cukup mempengaruhi prestasi mereka dan dengan demikian potensi bagi
timbulnya konflik antara mereka dengan teman sejawatnya dalam unit
mereka dan unit-unit yang berdampingan.
Jika orang menerima sebuah peran, maka ia membawa serta sejumlah
harapan dan aspirasi, Jika harapan-harapan tersebut tidak dipenuhi,
Misalnya, jika pekerjaan mereka tampaknya tidak mencukupi maka individu
tersebut dapat memperlihatkan frustasi mereka dalam sejumlah tindakan.
Ada yang mengundurkan diri, ada yang mengurangi usaha yang mereka
berikan pada pekerjaan mereka, yang lainnya lagi memilih untuk melawan.
Kelompok terakhir ini dapat menjadi penstimuli konflik berkepanjangan.
Mencari-cari masalah, menyebarkan desas-desus, memutarbalikkan dan
mengubah fakta sehingga terjadi kekacauan, serta tindakan yang kurang
lebih sama. Orang-orang demikian, dan semua organisasi yang besar paling
tidak mempunyai satu kelompok seperti itu, tampaknya merasa senang jika
dapat mengacaukan sistem yang ada. Sejauh mana mereka memperoleh kawan
dalam usaha mereka, sejauh itu mereka dapat menjadi sumber utama
konflik.
Salah satu sumber konflik yang sering dikemukakan adalah kesukaran
dalam komunikasi. Kasus yang jelas adalah komunikasi vertical dan
horizontal, yang mana dalam proses komunikasi tersebut sering terjadi
kedwiartian dan distorsi.
Disamping itu kesukaran semantic seringkali menjadi masalah dalam
organisasi. Kesukaran itu menghalangi komunikasi yang penting bagi
uasaha kerja sama diantara unit-unit. Kesukaran semantic dapat
disebabkan oleh pendidikan, latar belakang dan proses sosialisasi yang
dilalui para anggota unit yang berbeda-beda.
Sementara Aliran pragmatisme mengatakan bahwa, sumber konflik
komunikasi bisa disebabkan karena sebuah unit dengan sengaja
menyembunyikan informasi terhadap unit lainnya, karena informasi dapat
membantu perolehan kekuasaan. Maka, sangat realistis jika informasi yang
penting dengan sengaja dirahasiakan, konflik dapat berkembang. Tapi
yang menarik, apabila kondisi diatas berlaku sebaliknya, tidak pula
menjamin bahwa konflik tidak akan ada.
Richard E Walton (1996 :
42) beradasrkan kajiannya justru konflik akan meningkat jika unit-unit
itu mempunyai pengetahuan yang cukup banyak mengenai aktivitas
departemen lainnya. Mengapa demikian ? Pengetahuan yang menyeluruh
membuat kepentingan semua pihak menjadi terlihat dan memperlihatkan
suatu atau semua ketaksamaan yang ada. Pengetahuan yang tidak sempurna,
sebaliknya, menutupi kepentingan diri sendiri, menghilangkan
ketaksamaan, dan membuat koordinasi semakin mudah. Kita dapat
menyimpulkan bahwa komuniasi yang berbeda-beda dapat menjadi sumber
konflik. Komunikasi yang tidak cukup atau yang tidak jelas dapat
menstimuli konflik. Demikian juga halnya informasi yang sempurna atau
komplit.
- Ø Birokrasi, Cara hubungan antar tugas berkembang
dalam organisasi, juga dapat menjadi potensi munculnya konflik. Konflik
juga dapat terjadi karena tidak konsistennya status antar
kelompok-kelompok yang berbeda dalam birokrasi organisasi. Tipe klasik
konflik birokrasi terjadi antara staf dengan fungsi lini. Suatu fungsi
lini dalam organisasi terkait langsung dengan proses produksi. Pada
suatu perusahaan manufaktur, produksi adalah fungsi lini; di rumah
sakit, dokter adalah fungsi lininya; dan di universitas, profesor adalah
fungsi lininya. Fungsi staf yaitu memberi dorongan kepada fungsi lini
dengan melibatkan fungsi-fungsi lainnya seperti personalia, akuntansi
dan pembelian. Di banyak organisasi, para pekerja pada fungsi lini
memandang diri mereka sendiri sebagai sumberdaya yang paling penting
dari organisasi, dan pekerja di fungsi staf sebagai pemain kedua. Dengan
pendirian seperti itu, fungsi lini secara terus menerus berusaha untuk
menempatkan keinginannya diatas keinginan fungsi-fungsi lain dalam
organisasi. Hasilnya adalah konflik.
- Ø Kriteria Kinerja Yang Tidak Sesuai, Kadangkala
konflik antar subunit terjadi bukan perbedaan tujuan, tetapi karena cara
organisasi dalam memonitor, mengevaluasi dan menghargai subunit-subunit
yang berbeda. Konflik antara bagian produksi dan penjualan dapat
terjadi ketika untuk mencapai tujuan peningkatan penjualan, bagian
penjualan menuntut bagian produksi untuk memenuhi permintaan pelanggan
secepatnya, -suatu aksi yang dapat meningkatkan biaya produksi. Bila
sistem insentif perusahaan menguntungkan bagian penjualan (yang mendapat
bonus lebih besar karena dapat meningkatkan jumlah produk terjual),
tetapi merugikan bagian produksi (yang tidak mendapatkan bonus karena
biaya produksi yang justru meningkat), maka akan menimbulkan konflik.
Cara perusahaan merancang strukturnya untuk mengkoordinasikan
subunit-subunit, dapat menjadi potensi konflik.
Sumber konflik dari Eksternal / lingkungan:
Sebagaimana telah di bahas dalam bab-bab terdahulu, bahwa lingkungan
mempunyai peranan yang penting dalam keberlangsungan sebuah organisasi.
Kekuatan-kekuatan lingkungan yang mempengaruhi secara langsung mapun
tidak langsung jika tidak dimanaj dengan baik akan menimbulkan konflik.
Misalkan saja, Tim R&D, gagal dalam melakukan riset pasar, sehingga
produk tidak secara maksimal diterima konsumen, maka kondisi ini akan
memunculkan konflik antara pihak-pihak interbal yang merasa dirugikan.
Dengan adanya Teknologi, memungkinkan adanya alokasi tugas antar
departement yang mengakibatkan saling ketergantungan antar departemen.
Kelompok yang mempunyai tugas saling tergantung lebih sering dan harus
berbagi sumber daya. Saling ketergantungan menciptakan situasi yang
sering mendorong kearah konflik.
Dampak, Resolusi dan Stimuli Konflik.
Jika kita sepakat dengan pandangan interactionist,
konflik tidak bisa dihindari. Bagi organisasi yang terpenting adalah
bagaimana mengelola konflik agar efektif bagi organisasi. Konflik bisa
berdampak negatif, seperti melemahnya hubungan antar pribadi,
keterasingan, mudah marah/ tersinggung, dan lain-lain. Pada level
organisasi konflik membawa dampak negatif berupa pemborosan energi,
menurunnya rasa saling percaya, kurangnya kerja sama antar kelompok, dan
terganggunya pencapaian tujuan organisasi. Konflik jika dikelola dengan
baik akan berdampak positif dan konstruktif bagi organisasi,
diantaranya sebagai tanda peringatan dini terhadap masalah yang muncul,
sebagai katub pengaman, meningkatkan interaksi dan keterlibatan kelompok
untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang timbul, menumbuhkan
kreativitas, menjembatani penyelesaian masalah, serta menguji ide-ide
yang muncul dari anggota organisasi.
Karakteristik Perilaku Individu Jika Terjadi Konflik
Jika konflik terjadi, menurut
Daft (1998 : 485) akan muncul berbagai perubahan perilaku dalam kelompok, yaitu :
- Individu dalam suatu kelompok akan mengidentifikasi dirinya dengan
kelompoknya dan menganggap seolah-olah dirinya terpisah dari kelompok
lain.
- Kehadiran kelompok lain akan mengundang perbandingan antara “kelompok kami” dan “kelompok merreka.”
- Jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain maka
anggota kelompoknya akan cepat menyatu dengan anggota kelompoknya.
- Anggota suatu kelompok cenderung memandang kelompok lain sebagai rival.
- Anggota kelompok cenderung menonjolkan arogansi dan merremehkan kelebihan atau keberhasilan kelompok lain.
- Komunikasi antar kelompok yang berkonflik akan menurun bahkan tersumbat.
- Kelompok yang berkonflik dengan kelompok lain akan cepat melempar kesalahan kepada kelompok lain.
- Konflik antar kelompok yang diikuti perubahan pada persepsi dan permusuhan terjadi secara alamiah, dalam situasi normal.
Konflik dalam sebuah organisasi, baik antar pribadi dalam suatu
kelompok maupun konflik antar kelompok dalam suatu organisasi dipastikan
akan selalu ada. Tugas manajer adalah mengarahkan dan mengendalikan
agar konflik berada pada level yang sedang / moderat dan efektif bagi
organisasi. Sehingga teknik resolusi sangat diperlukan dalam memanage
konflik.
Teknik Resolusi
Robins (1994 :465) menawarkan teknik-teknik resolusi yang
bersumber pada struktur untuk mengurangi konflik, jika tingkat konflik
sudah berada pada level yang mengakibatkan tidak efektifitasnya
organisasi.
Teknik-teknik resolusi tersebut antara lain :
adalah tujuan bersama yang dianut oleh dua unit atau lebih yang
memaksakan dan sangat menarik dan yang tidak dapat dicapai dengan
sumber-sumber dari unit mana saja secara terpisah. Teknik resolusi ini
dimulai dengan sebuah definisi dari tujuan yang dipunyai bersama dan
pengakuan bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak yang saling bertentang
maka tujuan itu tidak dapat dicapai. Dari hasil penelitian
Muzafer
(1966 :93) menyimpulkan bahwa dalam keadaan dimana konflik berkembang
dari tujuan yang tidak kompatibel, penggunaan tujuan superordinate harus
meningkatkan kerja sama.
- Ø Mengurangi Kesalingtergantungan Antar Unit
Teknik ini pada umumnya digunakan jika konflik bersumber dari saling
ketergantungan mutual dan satu arah. Penyangga (buffer), misalnya, dapat
diperkenalkan untuk mengurangi saling ketergantungan tersebut. Jika
Output dari unit A adalah input untuk unit B, maka B bergantung pada
unit A. jika A terlambat maka B juga akan terganggu. Salah satu
solusinya adalah dengan membuat suatu persediaan (inventory) dari output
A sebagai suatu penyangga.
Jika konflik muncul karena kelangkaan sumber daya,
maka cara termudah untuk memecahkan konflik tersebut adalah adalah
melalui perluasan sumber daya yang tersedia. Hal ini mungkin tidak
diinginkan oleh pihak lain yang berada di luar konflik, tetapi kekuatan
terbesarnya sebagai sarana untuk memecahkan masalah adalah dalam
kemampuannya untuk memungkinkan masing-masing pihak yang berkonflik
untuk memperoleh kemenangan.
Memperluas sumber daya sebagai suatu penyelesaian konflik akan sangat
berhasil karena membuat pihak-pihak yang berkonflik puas. Namun
kegunaannya dibatasi oleh sifat dari keterbatasan yang terdapat
didalamnya, sumber daya organisasi jarang sekali terdapat dalam jumlah
yang dapat diperluas dengan mudah.
- Pemecahan Masalah Bersama
Teknik ini menuntut pihak-pihak yang berkonflik untuk saling bertemu
dan mencari penyebab yang menjadi dasar dari konflik mereka dan
bertanggung jawab bersama untuk keberhasilan resolusinya. Metode ini
telah dinyatakan sebagai metode yang paling sehat untuk memecahkan
konflik antar kelompok. Pemecahan masalah, dengan metode ini mencoba
untuk “menekankan yang positif” dengan menonjolkan pandangan yang sama
dari pihak yang berkonflik. Karena hampir setiap masalah selalu terdapat
celah yang memungkinkan pihak yang berselisih bersepakat. Hal ini yang
sering dilupakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Resolusi konflik dapat ditangani dengan menciptakan saluran formal
agar keluhan dapat di dengar dan ditanggapi. Organisasi yang mempunyai
serikat pekerja merupakan contoh yang sangat baik untuk teknik naik
banding untuk mengatasi masalah antara pekerja dan manajemen dengan
membawa permasalahan ketingkat manajemen yang lebih tinggi. Namun dalam
kondisi tertentu, dalam upaya naik banding dan permasalahan belum
terselesaikan maka upaya penyelesaannya pada umumnya memerlukan pihak
ketiga yang bisa bersikap netral. Bahkan organisasi tertentu menciptakan
posisi untuk seorang ombudsman (seorang yang diangkat perusahaan untuk
menangani perselisihan).
wewenag yang dipunyai supervisor terhadap pihak yang berkonflik cukup
penting dan penggunaannya demikian meluas sehingga dapat dianggap
sebagai sebuah teknik resolusi tersendiri. Individu dalam organisasi,
dengan sedikit pengecualian, mengakui dan menerima wewenang dari atasan
mereka sebagai cara yang dapat diterima untuk memecahkan konflik.
Meskipun mereka mungkin tidak sepakat dengan keputusan tersebut, namun
mereka tunduk kepadanya. Jadi, wewenang yang formal sangat berhasil
untuk mengurangi konflik.
- Ø Interaksi yang makin Bertambah
Interkasi yang terus menerus akan mengurangi konflik, karena dengan
berinteraksi mereka akan menemukan kepentingan dan ikatan yang sama yang
dapat memudahkan kerja sama.
- Ø Kriteria Evaluasi untuk Seluruh Organisasi dan sistem Pemberian Imbalan
Jika pemisahan evaluasi dan imbalan menciptakan konflik, manajemen
harus mempertimbangkan ukuran prestasi yang mengevaluasi dan memberi
imbalan kepada unit-unit yang bekerja sama. Penghapusan situasi zero-sum
dapat menguntungkan. Dengan memastikan, misalnya, bahwa kendali mutu,
auditing, dan fungsi kebijaksanaan lainnya dievaluasi untuk kontribusi
pencegahan dalam menemukan kesalahan akan mengurangi konflik. Selain
itu, pelembagaan seluruh organisasi, pembagian keuntungan atau
perencanaan pemberian bonus akan membantu meningkatkan orang bahwa
perhatian utama organisasi adalah pada keefektifan keseluruhan sistem,
bukan pada salah satu unit saja.
- Ø Membaurkan Unit yang sedang Berkonflik
Teknik ini menawarkan solusi dengan menyarankan salah satu fihak yang
berkonflik memperluas batas-batasnya dan menyerap sumber
kejengkelannya, atau mereka meng-coopt pihak lawan / pengkritik dengan
membaurkan mereka ke dalam sistem itu. Misalnya, bagaimana sistem
sekolah dasar dan menengah menggunakan teknik yang sama jika mereka
mengizinkan orang-orang yang kritis terhadap kurikulum untuk turut serta
dalam meninjau kembali dan mengevaluasi program dan kebijaksanaan
tersebut.
Dengan argumen yang relatif sama, bahwa suatu organisasi harus menyeimbangkan akan kebutuhan konflik yang baik (
good conflict) – yaitu yang mengatasi inersia dan memungkinkan pembelajaran baru bagi organisasi – dengan pencegahan peningkatan
good conflict ke arah
bad conflict
– yaitu yang menyebabkan hancurnya koordinasi dan integrasi diantara
fungsi-fungsi dan divisi-divisi. Jones (2001:427) menawarkan beberapa
disain strategi penyelesaian konflik untuk membantu organisasi dalam
mengelola konflik yang dihadapinya.
1. Perubahan pada Tingkat Struktur
Tindakan yang dilakukan yaitu mengubah struktur organisasi sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan penyebab konflik.
- Saling ketergantungan atas tugas dan perbedaan tujuan adalah dua hal
utama yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, dan cara untuk
menyelesaikannya adalah mengubah tingkat diferensiasi dan integrasi atas
hubungan tugas-tugas. Suatu organisasi dapat mengubah dari suatu
struktur fungsional ke struktur divisi produk, sehingga mereka dapat
menemukan sumber konflik. Menurut Jones, perpindahan manajer ke struktur
yang lain dapat mengurangi bahkan menghilangkan suatu sumber masalah
konflik. Jika sedang terjadi konflik diantara divisi-divisi, intensitas
peran dari seorang manajer meningkat dan top manajer bertanggung jawab
untuk memecahkan konflik yang sedang terjadi dan meningkatkan struktur
hubungan kerja. Pada umumnya, peningkatan integrasi merupakan satu cara
utama dalam organisasi untuk mengelola masalah perbedaan tujuan subunit
organisasi. Untuk mengatasi konflik yang potensial, organisasi dapat
meningkatkan kegunaan dari peran suatu hubungan, kekuatan-kekuatan tugas
serta tim-tim, dan mekanisme integrasi.
- Cara lain untuk mengelola konflik melalui perubahan struktur adalah
menciptakan suatu keyakinan bahwa disain dari suatu wewenang hirarki
organisasi berada pada garis yang sesuai dengan kepentingannya saat itu.
Hilangnya kontrol pada sebuah rantai komando dapat menjadi sumber utama
sebuah konflik pada saat anggota organisasi mendapat tanggung jawab
untuk membuat keputusan-keputusan, tetapi di lain pihak dia tidak
mempunyai wewenang yang cukup untuk memutuskannya, karena manajer
diatasnya yang membuat keputusan terhadap setiap perubahan yang mereka
buat. Meratakan hirarki – sehingga hubungan wewenang menjadi tegas – dan
wewenang desentralisasi, dapat menghilangkan sumber utama suatu konflik
organisasi. Disain organisasi yang baik seharusnya menghasilkan suatu
kreasi struktur organisasi yang dapat meminimalisir konflik. Pada
kebanyakan organisasi, karena inersia, organisasi gagal untuk mengelola
strukturnya dan mengubahnya sesuai dengan perubahan lingkungan, sehingga
akhirnya konflik menjadi meningkat dan efektifitas organisasi tidak
tercapai.
- 2. Perubahan pada Sikap dan Individu
Tindakan yang dilakukan yaitu mencoba untuk mengubah sikap (
attitudes) individual dan individu itu sendiri.
- Perbedaan tujuan dan keyakinan tentang cara yang terbaik untuk
mencapai tujuan organisasi, tidak dapat dihindarkan karena perbedaan
dari fungsi-fungsi dan divisi-divisi itu sendiri. Suatu cara untuk
mengekang konflik antara subunit dan mencegah pengutuban sikap yang
terjadi selama tahap merasakan konflik dalam Pondy’s model, adalah
merancang suatu sistem prosedural yang memungkinkan pihak-pihak yang
terlibat konflik membiarkan keluhan-keluhan mereka dan mendengarkan
pendapat atau pandangan pokok dari pihak lain. Seorang negosiator dapat
berperan dalam mencegah pengutuban attitudes yang terjadi
selama tahap merasakan konflik, dengan demikian manifestasi konflik
dapat dicegah. Suatu forum dapat membantu pihak-pihak yang berselisih
untuk bertatap muka dan secara langsung menyelesaikan masalahnya,
sehingga satu sama lain dapat saling memahami. Sistem prosedural
merupakan hal yang terpenting dalam mengelola konflik antara manajer dan
serikat kerja dalam perusahaan industri. Attitudinal structuring merupakan suatu rancangan proses untuk mempengaruhi attitudes
dari partai yang beroposisi dan untuk menimbulkan persepsi bahwa kedua
partai berada dalam sisi yang sama dan ingin memecahkan perselisihan
secara damai.
- Cara lain dalam mengelola konflik melalui perubahan sikap adalah
dengan pertukaran dan rotasi dari para pekerja diantara subunit yang
dapat mendorong mereka untuk saling memahami pandangan masing-masing.
Ketika attitudes seseorang sulit diubah, karena telah
berkembang untuk periode waktu yang lama, satu-satunya cara untuk
memecahkan konflik mungkin dengan mengubah posisi pekerja. Hal ini dapat
dilakukan dengan memindahkan para pekerja secara permanen ke bagian
lain organisasi, mempromosikan mereka, atau memecatnya.
Seorang CEO dalam sebuah organisasi berperan penting dalam mempengaruhi
attitudes
dalam suatu konflik. Seorang CEO melambangkan nilai-nilai dan budaya
organisasi, dan cara CEO bertindak berpengaruh langsung terhadap
attitudes
manajer lain. Sebagai kepala organisasi, CEO juga merupakan kekuatan
terkahir dalam memecahkan konflik diantara subunit-subunit. Seorang CEO
yang kuat secara aktif mengelola konflik organisasi dan membuat suatu
debat terbuka dimana setiap kelompok dapat mengemukakan
padangan-pandangannya. Seorang CEO yang kuat juga dapat menggunakan
kekuatannya untuk membangun sebuah konsensus untuk penyelesaian dan
keputusan suatu konflik dan dapat memotivasi subunit untuk bekerja sama
dalam mencapai tujuan organisasi. Di lain pihak, seorang CEO yang lemah
ternyata dapat meningkatkan konflik. Ketika CEO gagal untuk mengelola
proses ‘tawar menawar’ dan negosiasi diantara beberapa subunit, subunit
yang terkuat didorong atau memungkinkan untuk mempertahankan
tujuan-tujuan mereka. Seorang CEO yang lemah dapat pula menyebabkan
tidak berjalannya kekuatan organisasi di tingkat atas, dimana hal ini
memungkinkan anggota-anggota organisasi yang terkuat untuk bersaing
dalam hal pengawasan. Jika konsensus hilang dan perkelahian terjadi
setiap hari, maka konflik dapat menghancurkan suatu organisasi.
Pondy ”s Model
Jones (2001 :422) menawarkan sebuah model, yang di beri nama
pody’s model, dimana manajer dapat mengunakan model ini
untuk menganalisis dan menginterpretasikan situasi konflik dan
mengambil tindakan untuk mencari jalan keluar dari konflik tersebut.
Pada tahap pertama dalam model ini, konflik belum muncul tetapi
potensi untuk muncul telah ada, meskipun tersembunyi. Konflik organisasi
terjadi karena adanya diferensiasi vertikal dan horisontal, yang
menyebabkan terbentuknya subunit-subunit organisasi yang berbeda, yang
memiliki tujuan dan persepsi yang berbeda mengenai cara yang terbaik
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Ada 5 sumber potensial yang
dapat menyebabkan konflik antar subunit dalam organisasi yaitu :
ketergantungan antar subunit, perbedaan tujuan antar subunit,
faktor-faktor birokrasi, kriteria kinerja yang tidak sesuai dan
persaingan untuk mendapatkan sumberdaya.
Tahap kedua dari model Pondy yaitu konflik yang dapat diamati,
dimulai ketika suatu subunit atau kelompok stakeholder merasa bahwa
tujuan-tujuannya telah terganggu oleh aksi-aksi dari kelompok lain. Pada
tahap ini, setiap subunit mulai mengidentifikasi mengapa konflik bisa
terjadi, dan mulai menganalisis kejadian-kejadian apa yang telah
memicunya. Setiap kelompok berusaha untuk mencari sumber dari konflik
dan mulai mengkonstruksi skenario yang sesuai untuk masalah tersebut
melalui konflik yang sedang dialami oleh subunit yang lain.
Sebagai contoh, divisi produksi tiba-tiba menyadari bahwa penyebab
dari hampir seluruh masalahnya adalah bahan baku (input) yang kurang
berkualitas. Ketika manajer produksi melakukan penyelidikan, mereka
menemukan bahwa divisi persediaan (material) selalu membeli bahan baku
yang paling murah, dan tidak berusaha untuk menjalin hubungan jangka
panjang dengan pemasok (supplier), yang dapat meningkatkan kualitas dan
reliabilitas dari bahan bakunya. Divisi persediaan mengurangi biaya
pembelian bahan baku dan memperbaiki fungsi dasarnya, tetapi hal itu
menyebabkan biaya produksi meningkat dan memperburuk fungsi dasarnya.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila divisi produksi menilai divisi
persediaan sebagai pengganggu kebutuhan dan tujuan-tujuannya.
Biasanya pada titik ini, konflik telah meningkat seiring dengan
dimulainya peperangan antar subunit atau stakeholder yang berbeda, untuk
mengatasi penyebab dari masalah. Divisi produksi mengeluhkan divisi
persediaan kepada CEO atau siapapun yang mendengarkan, agar divisi
persediaan mau merubah praktek pembeliannya (purchasing). Divisi
persediaan biasanya akan menentang tuduhan bahwa pembeliannya akan bahan
baku yang murah, dapat menyebabkan penurunan kualitas. Bahkan ia akan
menuduhkan kesalahan tersebut sebagai kegagalan divisi produksi dalam
menyediakan pekerja-pekerja ahli yang dibutuhkan untuk menerapkan
teknologi baru, dan mengembalikan tanggung jawab masalah kualitas ke
tangan divisi produksi. Meskipun kedua fungsi tersebut berbagi tujuan
yang sama dalam menciptakan produk dengan kualitas superior, mereka
menyumbangkan kualitas yang rendah untuk sumber-sumber yang berbeda
pula.
Pada Tahap ke Tiga adalah Merasakan Konflik
(Felt Conflict). Pada
tahap ini, subunit-subunit dengan cepat saling membangun tanggapan
emosional. Biasanya, masing-masing unit mengembangkan mental
keberpihakan (polarisasi), yang menimpakan kesalahan langsung pada
subunit yang lain. Seiring dengan peningkatan konflik, kerjasama antar
subunit juga menurun, demikian pula dengan efektivitas organisasi.
Sebagai contoh, bila R & D, bagian persediaan dan bagian produksi
bersitegang dalam menentukan kualitas dan spesifikasi produk akhir.
Seiring dengan pertentangan antar subunit dengan sudut pandang yang
berbeda, konflik terus meningkat. Masalah aslinya mungkin sederhana,
tetapi bila tidak diambil tindakan penyelesaian secepatnya, masalah yang
tadinya kecil akan berkembang menjadi konflik yang besar, yang akan
bertambah sulit untuk diatasi. Bila konflik tersebut tidak diselesaikan,
konflik tersebut akan dengan mudah meningkat pada tahap selanjutnya.
Tahap ke empat Manisfestasi Konflik
(Manifest Conflict). Pada
tahap ini, satu subunit melawan subunit lainnya, melalui perusakkan
tujuan-tujuannya. Manifestasi konflik dapat berbentuk bermacam-macam.
Yang paling umum adalah agresi terbuka antara manusia dan kelompoknya.
Terdapat banyak cerita dan mitos dalam organisasi tentang
board room fighting,
dimana para manajer benar-benar kehilangan kesabarannya karena ingin
memperjuangkan kebutuhan/keinginannya. Hal ini sangat biasa, karena para
manajer berusaha untuk mengembangkan karir mereka dan mengalahkan yang
lainnya.
Bentuk yang paling efektif dari manifestasi konflik adalah agresi
pasif, yaitu mengabaikan tujuan-tujuan pihak oposisi dengan cara diam.
Misalnya ada konflik antara penjualan dan produksi. Suatu hari, bagian
penjualan harus memenuhi pesanan mendadak dari pelanggan penting. Apa
yang dilakukan oleh manajer produksi ?. Strateginya adalah dengan
menyetujui permintaan pihak penjualan, tetapi kemudian tidak
memenuhinya. Ketika manajer bidang penjualan datang untuk meminta
pertanggungjawabannya, manajer produksi akan menjawab tanpa rasa
bersalah “Oh, maksud anda jumat lalu. Saya kira jumat sekarang.”
Secara umum, sekali konflik bermanifestasi, efektivitas organisasi
akan menurun karena koordinasi dan integrasi antara para manajer dan
subunit menjadi terpecah. Para manajer harus melakukan segala cara untuk
mencegah konflik agar tidak mencapai tahap manifestasi ini karena dua
alasan, yaitu karena bisa menyebabkan perpecahan dalam komunikasi dan
karena konsekuensi yang diakibatkan oleh konflik.
Tahap ke lima. Konsekuensi Konflik
(Conflict Aftermath). Cepat
atau lambat, konflik organisasi akan teratasi bagaimanapun caranya, dan
seringkali melalui keputusan beberapa manajer senior. Bila sumber dari
konflik belum teratasi, perdebatan dari masalah-masalah yang menyebabkan
konflik, akan muncul kembali dalam konteks lain. Apa yang terjadi
ketika konflik muncul kembali tergantung pada bagaimana cara konflik
tersebut terselesaikan pada saat terdahulu.
Misalkan bagian penjualan datang ke bagian produksi dengan permintaan
baru. Bagaimana kemungkinan sikap bagian produksi dan penjualan ?
Mereka mungkin akan bersikap saling curiga dan saling menyerang satu
dengan lainnya, dan akan merasa sulit untuk mencapai persetujuan dalam
berbagai hal. Tetapi bila mereka telah bisa menyelesaikan perdebatan
mereka yang terdahulu dengan cara damai, dan telah setuju untuk dapat
merespons/menanggapi kebutuhan pelanggan penting secara lebih fleksibel.
Maka ketika dikemudian hari bagian penjualan datang kembali dengan
permintaan khusus, bagaimana bagian produksi akan bereaksi ? Manajer
produksi mungkin akan menunjukkan kerjasamanya, dan kedua belah pihak
akan mampu untuk berunding dan mencapai rencana bersama (gabungan) yang
sesuai dengan kebutuhan kedua fungsi tersebut.
Setiap episode dari konflik meninggalkan konsekuensi yang dapat
mempengaruhi cara kedua belah pihak dalam menerima dan menanggapi
episode konflik selanjutnya. Bila suatu konflik terselesaikan sebelum
mencapai tahap manifestasi, maka konsekuensi akan mengakibatkan hubungan
kerja yang baik di masa yang akan datang. Tetapi bila konflik tidak
terselesaikan sampai pada tahap terakhir dari proses, atau bahkan tidak
terselesaikan sama sekali, konsekuensinya akan berakibat pada
terbentuknya hubungan kerja yang buruk, dan budaya organisasi akan
teracuni oleh hubungan yang tidak harmonis secara permanen. Sebagai
contoh, para manajer pada First Boston, menghargai sikap merendahkan
kolega mereka pada divisi lain dari organisasi. Mereka selalu bersikap
tidak kooperatif dan sampai sekarang mereka masih melakukannya.
Sementara Daft (1998 :502) menawarkan
Metode penyelesaian konflik diantaranya :
1. Collective Bargaining
Suatu pendekatan utama untuk memecahkan konflik serikat kerja dengan pihak manajemen adalah melalui
Collective Bargaining (Penawaran Bersama).
Collective bargaining
adalah suatu kesepakatan antara pihak manajemen atau pimpinan dengan
para pekerja. Proses tawar-menawar (bargaining) biasanya diselesaikan
melalui sebuah serikat kerja dan proses tersebut harus sesuai dengan
format yang telah ditentukan.
Collective bargaining melibatkan paling tidak dua kelompok yang mempunyai kepentingan masing-masing. Kegiatan
collective bargaining
biasanya dimulai dengan pengajuan proposal yang dievaluasi oleh
kelompok lain. Kemudian dilanjutkan dengan memberi tanggapan terhadap
proposal dan konsesi. Sebuah perjanjian yang telah ditetapkan pada
akhirnya dicapai dengan menjelaskan beberapa pertanggungjawaban kelompok
untuk dua sampai tiga tahun kedepan.
2.Cooperative Approaches
Pada saat ini lingkungan ekonomi mengarah pada sebuah kerjasama
daripada mengarah kepada pendekatan konfrontasi antara hubungan pihak
manajemen dengan buruh. Perubahan-perubahan ini berkembang dari
kebutuhan-kebutuhan serikat kerja untuk mencegah kehilangan pekerja dan
kepentingan perusahaan untuk menekan biaya produksi dan buruh.
Labor-management teams dirancang untuk meningkatkan partisipasi para pekerja dan membuat “
cooperative model”
atas permasalahan-permasalahn antara pihak manajemen dan serikat kerja.
Fungsi utama dari sebuah tim adalah menggali pengetahuan para pekerja
untuk memperbaiki produktivitas kerja mereka. Tim-tim ini terdiri atas
tiga tingkat :
- Tingkat bawah, sebuah tim mungkin terdiri atas 10 pekerja yang
mengidentifikasi masalah-masalah dan mengimplementasikan
solusi-solusinya, hal ini sama dengan pendekatan quality circle.
- Manajer tengah dan para ketua serikat kerja lokal bertindak sebagai
sebuah tim penasehat untuk mengkoordinasikan program-program dan
mengimplementasikan saran-saran yang telah dibuat oleh tim.
- Tingkat atas, senior eksekutif perusahaan dan pimpinan teras serikat
kerja menyusun kebijakan jangka panjang dan merencanakan
pilihan-pilihan tentang pemutusan hubungan kerja. Pendekatan koordinasi
ini mendorong partisipasi para anggota serikat kerja di dalam perusahaan
dan meningkatkan pengenalan mereka terhadap perusahaan.
Sebagai penambahan wacana, ada baiknya kita lihat juga pendapat
(Vielrd :1999) bahwa penyelesaian konflik bisa dilakukan oleh kelompok
yang berkonflik melalui
problem solving,
forcing atau gabungan keduanya.
Problem Solving adalah rekonsiliasi kepentingan-kepentingan
dasar pihak-pihak yang berkonflik. Risiko penggunaan metode ini adalah
kemungkinan hubungan timbal balik yang negatif antara pihak-pihak yang
bertentangan akan menghambat hasil bersama atau solusi akhirnya tida
sebanding dengan waktu dan energi yang digunakan atau win-win solution
pantas dipertanyakan.
Forcing adalah memaksakan kepentingan sendiri atau
kelompoknya dengan menentang lawan secara langsung. Perilaku konflik
dipandang konstruktif jika individu atau kelompok berhasil
merealisasikan manfaat konflik yang dikehendaki. Resiko penggunaan
metode ini antara lain eskalasi batas biaya yang ditetapkan,perusakan
hubungan, dan kemacetan yang ditimbulkan oleh kegagalan taktik
persaingan.
Gabungan Problem Solving dan Forcing, gabungan kedua metode tersebut
akan bisa meningkatkan efektivitas konflik dengan meminimalkan
kecendrungan dampak masing-masing metode tersebut (stagnasi dan
meningkatnya eskalasi)
Berkaitan dengan penggujian efektifitas masing-masing metode untuk
penyelewsaian konflik Vliert, et al (1998) melakukan studi pada beberapa
obyek 3 obyek penelitian di Belanda, yaitu pada pusat pengembangan
manajemen kepolisian nasional, pada mahasiswa University of Groningen
dan para manajer. Hasil studi menunjukkan dalam upaya penyelesaian
konflik, forcing murni lebih banyak digunakan dari pada problem solving,
pengabungan dan penggiliran problem solving dan forcing. Problem
Solving dan forcing murni memiliki intereelasi negatif dan masing-masing
berhubungan positif dan negatif dengan efektivitas organisasi. Terdapat
tiga kesimpulan umum dari studi tersebut, yaitu : 1) kombinasi simultan
Problem Solving dan forcing akan efektif jika kombinasi pengurutan
dihilangkan dalam pertimbangan. 2) Forcing tidak efektif kecuali jika
diikuti dengan kombinasi forcing dan problem solving. 3) Pengulangan
forcing yang dikuti oleh problem solving akan mendorong efektivitas
organisasi.
Teknik Stimuli
Teknik-teknik Stimulasi untuk menciptakan konflik dalam sebuah
organisasi (Brown :1998) jika konflik terlalu sedikit adalah dengan
jalan klarifikasi batas dan sasaran kelompok, sehingga perbedaan
diantara mereka menjadi semakin jelas dan bisa menimbulkan konflik .
Selain itu
Robins (1994 :472) juga menawarkan teknik-teknik
struktural pula untuk menstimulasi konflik jika konflik berada level
yang rendah, sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi.
Sementara menurut (Robins :1994) teknik-teknik stimuli konflik adalah
sebagai berikut :
pada saat tingkat konflik berada pada kondisi yang tingkat dukungan
efektifitas organisasi rendah, maka manajer bisa menstimuli konflik
dengan memanipulasi pesan dan saluran sedemikian rupa sehingga mendorong
terjadinya konflik. Informasi-informasi yang dimanipulasi tersebut bisa
di sebarkan melalui saluran formal maupun saluran informal.
ketika sebuah unit mengalami kemacetan, solusi yang paling tepat
untuk “membangunkan” unit tersebut adalah dengan memasukkan seseoarang
atau beberapa orang yang latar belakangnya, pengalamannya, dan
nilai-nilainya berbeda secara mencolok dari yang dipegang oleh para
anggota pada saat ini dalam sebuah unit. Keanekaragaman dapat sintesis
atau nyata, artinya seorang infiltrator dapat memainkan peran dari
pepatah “devil’s advocate” (pendukung setan).\, yang meskipun mempunyai
pandangan yang sama dengan anggota lain, ditugaskan untuk melakukan
pekerjaan mempertanyakan, menyerang, menyelidiki dan atau menentang tiap
pandangan yang homogen.
manajemen dapat merangsang konflik dengan menciptakan rangsangan yang
besaing di antara unit-unit. Gibson (1985 :32) berdasarkan beberapa
kajiannya, dia menyarankan bahwa mengubah struktur dengan meningkatkan
diferensiasi horizontal telah teruji sangat efektif untuk menciptakan
konflik. Karena dengan meningkatkan diferensiasi horizontal,
masing-masing bagian spesialisasi akan menjadi lebih homogen.Tetapi akan
terdapat perbedaan diantara unit-unit. Mereka akan dipaksa untuk
besaing satu sama lain untuk menampilkan performace yang baik.
Sumber : http://funnymustikasari.wordpress.com/2011/02/05/managing-organization-conflict/