Welcome to My Blog

Welcome to my Blog

Rabu, 14 Maret 2012

14. Proses Pengambilan Keputusan

A. Proses Pengambilan Keputusan Membeli
Sebelum membeli suatu produk atau jasa, umumnya konsumen melakukan evaluasi untuk
melakukan pemilihan produk atau jasa. Evaluasi dan pemilihan yang digunakan akan
menghasilkan suatu keputusan. Pengambilan keputusan sendiri merupakan sebuah proses
yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi
alternatif sebelum pembelian, pembelian, konsumsi, dan evaluasi alternatif sesudah
pembelian (Engel,1995).
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai proses pengambilan keputusan membeli yang
meliputi pengertian proses pengambilan keputusan membeli, tahap-tahap dalam proses
pengambilan keputusan membeli, tingkatan dalam proses pengambilan keputusan membeli
serta faktor apa saja yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan membeli.
1. Pengertian proses pengambilan keputusan membeli
Engel (1995) mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan membeli mengacu pada
tindakan konsisten dan bijaksana yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Pengambilan
keputusan membeli merupakan keputusan konsumen tentang apa yang hendak dibeli, berapa
banyak yang akan dibeli, di mana akan dilakukan, kapan akan dilakukan dan bagaimana
pembelian akan dilakukan (Loudon & Bitta, 1993). Berkowitz (2002) juga mengemukakan
bahwa proses keputusan pembelian merupakan tahap-tahap yang dilalui pembeli dalam
menentukan pilihan tentang produk dan jasa yang hendak dibeli. Ahli lain menyatakan bahwa
pengambilan keputusan konsumen adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan
Universitas Sumatera Utara
12
pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan memilih salah satu
diantaranya (Setiadi, 2003). Sementara Schiffman-Kanuk (2007) mengatakan bahwa
keputusan sebagai seleksi terhadap dua pilihan alternatif atau lebih, dengan kata lain
ketersediaan pilihan yang lebih dari satu merupakan suatu keharusan dalam pengambilan
keputusan.
Berdasarkan uraian diatas, maka proses pengambilan keputusan membeli yang dipakai
dalam penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Engel (1995) yakni proses
pengambilan keputusan membeli mengacu pada tindakan konsisten dan bijaksana yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Selanjutnya akan dibahas mengenai tahapan-tahapan
dalam membeli.
2. Tahapan-tahapan dalam proses pengambilan keputusan membeli
Proses pengambilan keputusan menurut Engel, Blackwell & Miniard (1995) meliputi 6
tahap yaitu:
a. Pengenalan kebutuhan.
Proses pengambilan keputusan dimulai dengan pengenalan kebutuhan yang didefinisikan
sebagai perbedaan atau ketidaksesuaian antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan
yang sebenarnya, yang akan membangkitkan dan mengaktifkan proses keputusan. Proses
membeli diawali dengan adanya kebutuhan. Kebutuhan timbul karena adanya perbedaan
antara keadaan yang sesungguhnya dengan keadaan yang diinginkan. Pengenalan
kebutuhan pada hakikatnya tergantung pada banyaknya ketidaksesuain antara keadaan
aktual dengan keadaan yang diinginkan. Jika ketidaksesuaian melebihi tingkat atau
ambang tertentu kebutuhan pun akan dikenali. Misalnya seorang yang lapar (keadaan
aktual) dia ingin menghilangkan perasaan itu (keadaan yang diinginkan) akan mengalami
pengenalan kebutuhan jika ketidaksesuaian diantaranya cukup besar. Hasil pengenalan
Universitas Sumatera Utara
13
kebutuhan akan mendorong organisme berperilaku lebih jauh untuk pemecahan masalah
jika kebutuhan yang dikenali cukup penting dan pemecahan kebutuhan tersebut dalam
batas kemampuannya.
b. Pencarian informasi.
Setelah kebutuhan dikenali, selanjutnya adalah pencarian internal ke memori untuk
menentukan solusi yang memungkinkan. Jika pemecahannya tidak diperoleh melalui
pencarian internal, maka proses pencarian difokuskan pada stimuli eksternal yang
relevan dalam menyelesaikan masalah (pencarian eksternal). Pencarian informasi
ditentukan oleh situasi, produk, pengecer dan karakteristik konsumen (pengetahuan,
keterlibatan, kepercayaan dan sikap, serta karakteristik demografi).
c. Evaluasi alternatif.
Setelah konsumen mengumpulkan informasi tentang jawaban alternatif terhadap suatu
kebutuhan yang dikenali, maka konsumen mengevaluasi pilihan serta menyempitkan
pilihan pada alternatif yang diinginkan.
d. Pembelian.
Konsumen melakukan pembelian yang nyata berdasarkan alternatif yang telah dipilih.
Pembelian meliputi keputusan konsumen mengenai apa yang dibeli, keputusan membeli
atau tidak, waktu pembelian, dimana dan bagaimana cara pembayarannya.
e. Konsumsi.
Pada tahap ini, konsumen menggunakan alternatif dalam pembelian. Biasanya tindakan
pembelian diikuti oleh tindakan mengkonsumsi atau menggunakan produk.
f. Evaluasi setelah pembelian.
Proses pengambilan keputusan tidak berhenti pada pengkonsumsian, melainkan berlanjut
ke evaluasi produk yang dikonsumsi, yang mengarah pada respon puas atau tidak puas.
Universitas Sumatera Utara
14
Setelah melakukan pembelian, konsumen mengevaluasi apakah alternatif yang dipilih
memenuhi kebutuhan dan harapan segera sesudah digunakan.
Loudon dan Bitta (1993) mengatakan bahwa pengambilan keputusan konsumen dapat
digeneralisasikan menjadi model pemecahan masalah konsumen yang terdiri atas 4 tipe
aktifitas dasar dalam proses membeli, yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi dan
evaluasi, keputusan membeli, serta perilaku setelah pembelian. Selanjutnya akan diuraikan
mengenai tingkatan dalam proses pengambilan keputusan membeli.
3. Tingkatan dalam proses pengambilan keputusan membeli
Engel dkk (1995) menjelaskan tingkatan dalam proses pengambilan keputusan lebih
terperinci menjadi 3 tingkatan dalam suatu kontinum yaitu:
a. Pengambilan Keputusan Diperluas
Pada pengambilan keputusan diperluas, konsumen terbuka pada informasi dari berbagai
sumber dan termotivasi untuk membuat pilihan yang tepat. Pengambilan keputusan ini
meliputi proses yang melibatkan pencarian informasi internal maupun eksternal yang
intensif, diikuti oleh evaluasi yang kompleks atas sejumlah besar alternatif yang tersedia.
Keenam tahapan proses pengambilan keputusan di ikuti meskipun tidak berurutan dan
akan banyak alternatif yang di evaluasi. Jika hasil yang diharapkan terpenuhi, maka
keputusan ditunjukkan dalam bentuk rekomendasi pada orang lain dan keinginan untuk
membeli kembali. Sejalan dengan Engel, Solomon (2004) mengatakan bahwa dalam
pengambilan keputusan diperluas, pada tahap pencarian informasi, konsumen terbuka
pada sumber informasi yang berbeda, menggunakan banyak kriteria alternatif yang di
evaluasi, mengunjungi berbagai toko-toko dan sering melakukan komunikasi dengan
penjual ketika melakukan pembelian.
b. Pengambilan Keputusan Antara
Universitas Sumatera Utara
15
Pengambilan keputusan ini berada diantara kedua titik ekstrim yaitu pengambilan
keputusan diperluas dan pengambilan keputusan terbatas. Tahap pencarian informasi dan
evaluasi alternatif juga dilakukan oleh konsumen tetapi intensitasnya terbatas.
c. Pengambilan Keputusan Terbatas
Pengambilan keputusan terbatas meliputi pencarian informasi secara internal maupun
eksternal terbatas, sedikit alternatif, aturan pengambilan keputusan sederhana atas
sejumlah kecil atribut, dan evaluasi purna pembelian yang rendah. Disini konsumen
menyederhanakan proses dan mengurangi jumlah dan variasi dari sumber informasi
alternatif serta kriteria yang digunakan untuk evaluasi. Pilihan biasanya dibuat dengan
mengikuti aturan yang sederhana seperti membeli merek yang dikenal atau membeli
dengan memilih harga yang termurah ataupun untuk mencoba yang baru sehingga
mengarah pada ganti-ganti merek. Pencarian yang ekstensif dan evaluasi alternatif
dihindari karena proses pembelian diasumsikan sebagai hal tidak penting bagi konsumen.
Solomon (2004) menambahkan bahwa dalam pengambilan keputusan terbatas konsumen
tidak menggunakan pencarian informasi secara eksternal serta menggunakan waktu
berbelanja yang terbatas dan pemilihan produk dipengaruhi oleh apa yang dipajang di
toko ketika melakukan pembelian. Pengambilan keputusan dalam membeli dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan membeli
Proses pengambilan keputusan membeli pada konsumen dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik yang bersifat individual (internal) maupun yang berasal dari lingkungan
(eksternal). Engel (1995) membaginya sbb:
a. Faktor individual (internal)
1. Sumber daya konsumen
Universitas Sumatera Utara
16
Waktu, uang dan perhatian merupakan sumber daya yang dimiliki konsumen
yang digunakan dalam setiap situasi pengambilan keputusan
2. Keterlibatan dan motivasi
Keterlibatan merupakan tingkat dari kepentingan atau ketertarikan personal
yang ditimbulkan oleh stimulus dalam situasi tertentu. Terhadap tingkat
keterlibatan yang hadir, konsumen di motivasi untuk bertindak dengan
pertimbangan untuk meminimalkan resiko dan untuk memaksimalkan
keutungan yang didapat dari penggunaan dan pembelian. Keterlibatan adalah
refleksi dari motivasi yang kuat di dalam bentuk relevansi pribadi yang
sangat dirasakan terhadap suatu produk atau jasa di dalam konteks tertentu.
3. Pengetahuan
Pengetahuan konsumen terdiri dari informasi yang disimpan di dalam
ingatan. Informasi yang dimiliki konsumen mengenai produk akan sangat
mempengaruhi pola pembelian mereka
4. Sikap
Sikap didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh, intensitas, dukungan dan
kepercayaan adalah sifat penting dari sikap. Pencarian informasi dan evaluasi
yang luas atas pelbagai kemungkinan akan menghasilkan pembentukan suatu
sikap terhadap alternatif-alternatif yang dipertimbangkan.
5. Kepribadian,
Kepribadian diartikan sebagai respon yang konsisten terhadap stimulus
lingkungan. Kepribadian seseorang akan menentukan bagaimana seseorang
mengkonsumsi suatu produk
6. Gaya hidup
Universitas Sumatera Utara
17
Gaya hidup diartikan sebagai pola dimana orang hidup dan menghabiskan
waktu serta uang. Gaya hidup yang dianut seseorang juga menentukan dalam
pemilihan serta keputusan pembelian sebuah produk.
7. Demografi
Karakteristik demografi seperti usia, pendapatan dan pendidikan juga
membedakan bagaimana seseorang terlibat dalam pengambilan keputusan
konsumen.
b. Faktor lingkungan (eksternal)
1. Budaya,
Budaya dalam perilaku konsumen mengacu pada nilai, gagasan, artefak, dan
simbol-simbol lain yang bermakna yang membantu individu untuk
berkomunikasi, melakukan penafsiran dan evaluasi sebagai anggota
masyarakat. Perbedaan budaya juga menentukan jenis produk yang dipilih
untuk dikonsumsi.
2. Kelas sosial,
Kelas sosial adalah pembagian di dalam masyarakat yang terdiri dari
individu-individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. Status
kelas sosial menghasilkan bentuk-bentuk perilaku konsumen yang berbeda
3. Pengaruh kelompok dan keluarga.
Keluarga adalah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang
dihubungkan melalui darah, perkawinan atau adopsi dan tinggal bersama.
Keputusan pembelian individu sangat mungkin dipengaruhi oleh anggota
lain dalam keluarganya. Kelompok juga berpengaruh dalam memberikan
referensi mengenai suatu produk, toko dsb.
Universitas Sumatera Utara
18
B. Keterlibatan Konsumen
Beberapa konsumen sangat perhatian pada beberapa produk atau merek, sangat tertarik
untuk mencari informasi tentang suatu produk namun tidak dengan konsumen yang lain
untuk produk atau merek yang sama. Hal ini berhubungan dengan keterlibatan konsumen
dimana konsumen yang mempersepsikan bahwa sebuah produk secara pribadi memiliki
konsekuensi yang relevan dikatakan lebih terlibat dan memiliki hubungan pribadi dengan
produk tersebut (Peter & Olson,1999).
Selanjutnya akan dibahas mengenai keterlibatan konsumen yang meliputi pengertian, dimensi
dan tipe-tipe dari keterlibatan.
1. Pengertian Keterlibatan Konsumen
Secara umum, konstruk dari keterlibatan menggambarkan ide atau pikiran dari relevansi
personal atau kepentingan (Chaudhuri, 2006). Buck dan Chaudhuri (dalam Chaudhuri, 2006)
mendefinisikan keterlibatan sebagai kedalaman dan kualitas dari respon kognitif dan afektif.
Mowen (2001) mendefinisikan keterlibatan konsumen sebagai persepsi dari kepentingan
pribadi atau minat terhadap perolehan, konsumsi dan disposisi dari barang, jasa atau ide.
Sejalan dengan definisi tersebut Solomon (2004) menyatakan bahwa keterlibatan konsumen
sebagai tingkat persepsi dari kepentingan pribadi dan atau ketertarikan yang ditimbulkan oleh
stimulus dengan situasi yang spesifik. Pengertian keterlibatan yang dijelaskan oleh Peter &
Olson (1999) adalah bahwa keterlibatan mengacu pada persepsi konsumen tentang
pentingnya atau relevansi personal suatu objek, kejadian atau aktivitas. Setiadi (2003)
mengatakan bahwa keterlibatan adalah status motivasi yang menggerakkan serta
mengarahkan proses kognitif dan perilaku konsumen pada saat mereka membuat keputusan.
Definisi lain mengenai keterlibatan oleh Antil (dalam Setiadi, 2003) adalah tingkat dari
kepentingan pribadi yang dirasakan dan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus di dalam
Universitas Sumatera Utara
19
situasi spesifik hingga jangkauan kehadirannya, konsumen bertindak dengan sengaja untuk
meminimumkan resiko dan memaksimumkan manfaat yang diperoleh dari pembelian dan
pemakaian.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka definisi keterlibatan konsumen yang dipakai di
dalam penelitian ini berdasarkan pada definisi dari Mowen (2001) dan ditambahkan dari
Setiadi (2003) yakni keterlibatan konsumen sebagai persepsi dari kepentingan pribadi atau
minat terhadap perolehan, konsumsi dan disposisi dari barang, jasa atau ide yang
menggerakkan serta mengarahkan proses kognitif dan perilaku konsumen pada saat mereka
membuat keputusan.
Keterlibatan memiliki beberapa dimensi yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
2. Dimensi keterlibatan
Mowen (2001) mengemukakan empat dimensi dari keterlibatan, yaitu:
a. Pentingnya ekspresi diri (self-expressive importance)
Produk-produk yang membantu orang untuk mengekspresikan konsep diri mereka
kepada orang lain. Ini terjadi ketika pilihan akan suatu produk dipersepsikan
mencerminkan citra diri. Contohnya adalah busana atau perhiasan.
b. Pentingnya hedonisme (hedonic importance)
Produk-produk yang dapat menyenangkan, menarik, menggembirakan, mempesona,
dan menggairahkan. Chaudhuri (2006) menambahkan bahwa nilai hedonis secara
langsung diketahui melalui pengalaman subjektif dengan produk dan hasilnya ada
dalam sebuah sensasi kesenangan.
c. Relevansi praktis (practical relevance).
Universitas Sumatera Utara
20
Produk-produk yang mendasar atau bermanfaat untuk alasan yang berfaedah. Produk
dibeli karena fungsi praktis yang dimilikinya. Misalnya pembelian AC karena
fungsinya sebagai alat pendingin ruangan.
d. Resiko pembelian (purchase risk).
Produk-produk yang menciptakan ketidakpastian karena pilihan yang buruk akan
sangat mengganggu konsumen. Perhatian dicurahkan jauh lebih besar sebelum
membuat keputusan jika konsumen merasa takut akan konsekuensi bahwa adanya
kemungkinan hasil pembelian tidak sesuai dengan harapan Engel (1995). Pada bagian
berikutnya akan dijelaskan mengenai tipe-tipe dari keterlibatan.
3. Tipe-tipe keterlibatan
Mowen (2001) membagi tipe keterlibatan atas dua tipe, yaitu:
a. Keterlibatan situasional
Terjadi selama periode waktu yang pendek dan diasosiasikan dengan situasi yang
spesifik, seperti kebutuhan untuk mengganti sebuah produk yang telah rusak.
b. Keterlibatan Abadi
Terjadi ketika konsumen menunjukkan minat yang tinggi dan konsisten terhadap
sebuah produk dan seringkali menghabiskan waktunya untuk memikirkan tentang
produk tersebut.
Solomon (2004) membagi tipe-tipe keterlibatan atas tiga bentuk, yaitu:
a. Keterlibatan produk
Keterlibatan produk berhubungan dengan tingkat ketertarikan konsumen terhadap
suatu produk khusus.
b. Keterlibatan respon pesan (keterlibatan iklan)
Universitas Sumatera Utara
21
Keterlibatan respon pesan mengacu kepada ketertarikan konsumen dalam memproses
komunikasi pemasaran.
c. Keterlibatan situasi pembelian
Keterlibatan situasi pembelian mengacu pada perbedaan yang mungkin terjadi ketika
membeli objek yang sama untuk konteks yang berbeda.
D. Pengaruh Keterlibatan Konsumen Terhadap Proses Pengambilan Keputusan
Membeli.
Sebelum membeli dan mengkonsumsi sesuatu, terlebih dahulu konsumen membuat
keputusan mengenai produk apa yang dibutuhkan, kapan, bagaimana dan dimana proses
pembelian atau konsumsi itu akan terjadi. Atau dengan kata lain, diperlukan suatu proses
pengambilan keputusan untuk membeli suatu barang atau jasa. Setiadi (2003) mengatakan
bahwa pengambilan keputusan konsumen adalah proses pengintegrasian yang
mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan
memilih salah satu diantaranya. Hasil dari proses pengintegrasian ini adalah suatu pilihan
(choice), yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku (behavior intentions).
Selanjutnya dijelaskan bahwa pengambilan keputusan yang diambil oleh seseorang dapat
disebut sebagai suatu pemecahan masalah. Engel (1995) mengatakan bahwa proses
pengambilan keputusan dalam membeli meliputi 6 tahap yaitu pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian, konsumsi dan evaluasi setelah pembelian.
Pengambilan keputusan membeli pada konsumen dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik yang bersifat individual (internal) maupun yang berasal dari lingkungan
(eksternal). Salah satu faktor individual yang dapat mempengaruhi proses pengambilan
keputusan seseorang adalah keterlibatan (Engel dkk, 1995).
Universitas Sumatera Utara
22
Baharrell & Denison serta Laaksonen (dalam Sridhar, 2006) mengemukakan bahwa
keterlibatan konsumen sebagai sumber untuk menjelaskan perbedaan kadar usaha mental dan
fisik dari seorang kosumen terhadap keputusan yang dibuatnya. Keterlibatan yang tinggi
mengarah kepada pemecahan masalah diperluas yang berarti pencarian dan penggunaan
informasi yang aktif, memproses informasi secara hati-hati, mempertimbangkan dan
mengevalusi banyak atribut produk sebelum membentuk keyakinan. Sebaliknya, keterlibatan
yang rendah dihubungkan dengan perilaku rutin, kebiasaan atau impulsif tanpa pemrosesan
informasi yang luas.
Mowen (2001) menyatakan bahwa sejalan dengan naiknya keterlibatan, konsumen
memproses informasi dengan lebih mendalam dan dengan semakin meningkatnya
keterlibatan, konsumen memiliki motivasi yang lebih besar untuk memperhatikan,
memahami dan mengelaborasi informasi tentang pembelian. Seseorang yang memiliki
keterlibatan yang tinggi akan lebih banyak berpikir atau merasakan lebih kuat mengenai
pengalaman konsumsinya, sebaliknya keterlibatan yang rendah terjadi ketika konsumen
memiliki sedikit energi dalam pikiran dan perasaan mereka dalam pengalaman khusus yang
terkait dengan konsumsi (Wilkie, 1986).
E. Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
”Keterlibatan konsumen berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan membeli”.

Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23295/3/Chapter%20II.pdf
http://abyhape.blogspot.com/2011/10/resume-kelompok-3-proses-pengambilan.html
13.Proses mempengaruhi

Sumber : images.zanikhan.multiply.com/.../0/.../Modul%20Pemimpin.doc?nmi...


. Pengertian Kepemimpinan 
Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu [Apakah: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain]. Pada pengertian yang sederhana  orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
1] Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya. 
2]     Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
3]     Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
4]     Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang.   
Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi lain,  para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan  [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki.  [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama  Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi,  kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.
Dari beberapa definisi  di atas,  ada beberapa unsur pokok yang mendasari atau sudut pandang dan sifat-sifat dasar   yang ada dalam merumuskan definisi kepemimpinan, yaitu:
a.   Unsur-unsur yang mendasari
Unsur-unsur yang mendasai kepemimpinan dari definisi-definis yang dikemukakan di atas, adalah: [1]  Kemampuan mempenga ruhi orang lain [kelom pok/bawahan]. [2] Kemampuan mengarahkan atau  memotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok. [3]  Adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
b.   Sifat dasar kepemimpinan
 Sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan adalah kecakapan memimpin. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa  kecakapan memimpin mencakup tiga unsur kecakapan pokok, yaitu: [1] Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan. [2]  Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi. [3]  Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana [iklim] yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi [Tatang M. Amirin, 1983:15].  Pendapat lain, menyatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsure pokok yang mendasarinya, yaitu : [1] Seseorang pemimpin harus memiliki kemampuan persepsi sosial [sosial perception]. [2]  Kemampuan berpikir abstrak [abilitiy in abstrakct thinking]. [3]  Memiliki kestabilan emosi [emosional stability].
 Kemudian dari definisi Locke, yang dikemukakan di atas, dapat dikategorikan kepemimpinan  menjadi 3 [tiga] elemen dasar, yaitu: 
1]  Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi [relation consept], artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tiadak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Dalam defines Locke, tersirat premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.
2]   Kepemimpinan merupakan suatu proses, artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin, artinya seorang pemimpin  harus melakukan sesuatu. Maka menurut Burns [1978], bahwa untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsive.
3] Kepemimpinan bearti mempengaruhi orang-orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model [menjadi teladan], penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi [Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalam  Mochammad Teguh, dkk., 2001:69.
Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama , yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.  Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang posetif dalam usaha mencapai tujuan.


2.  Pengertian Kepemimpinan Islam
Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagia setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di muka bumi [Q.S.al-Baqarah:30], yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah.  Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”.  Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah] [Q.S.al-Baqarah:31], serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya.
Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.
Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal  maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain [Aunur Rahim, dk., 2001:3-4].
Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

3. Beberapa Istilah Kepemimpinan dalam Islam
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil” [QS.al-Baqarah:30]. Mustafa al-Maraghi, mengatakan khalifat adalah wakil Tuhan di muka bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah adalah sosok manusia yang dibekali kelebihan akal, pikiran dan pengetahuan untuk mengatur. Istilah atau  perkataan khalifah ini, mulai popular digunakan setelah Rasulullah saw wafat.  Dalam istilah yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pengertian “Imam”, yang berarti pemuka agam dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga istilah “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur masyarakat. Dikenal pula istilah “ulil amir” [jamaknya umara]  yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55]. Dalam hadis Nabi dikenal istilah ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-istilah tersebut,  memberi pengertian bahwa kepemimpinan adalah kegiatan menuntun, memandu dan menunjukkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.
Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30, yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya [keheranan], Mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami senantiasa bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau ketahui”. Dalam pengertian ini  dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin [umara] dengan yang dipimpin [umat], tetapi baik pemimpin maupun rakyat [umat] yang dipimpin harus sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya sebagai seorang khalifah Allah , secara komprehensif [Aunur Rahim, dk., 2001:4-5].
Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu adalah pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari manusia telah melakukan unsur-unsur kepemimpinan seperti “mempengaruhi, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berharga dalam mewujudkan kepemimpinan yang efektif. “Untuk memahami kepemimpinan secara empiris, perlu dipahami terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya yaitu mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk kegiatan, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin adalah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula istilah “kepemimpinan” [dengan tambahan awalan ke] yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan” [Aunur Rahim, dk., 2001:4-5].
  

4. Teori Kelahiran Pemimpin

Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol [Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18], yaitu [a] teori genetis, [b] teori sosial, dan [c] teori ekologis.

a.   Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk”  [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini,  dapat saja terjadi, karena  seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor “dasar”. Dalam realitas,  teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
 
b.   Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa,  seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan [Leaders are made and not born].  Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin.  Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.

c.   Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa,  seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui  pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut  dapat teraktualisasikan dengan baik.
Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi.  Penganut teori ini berpendapat bahwa,   ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: [1] Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. [2] Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan [3] Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : [1] Membentuk diri sendiri [self constituded leader, self mademan, born leader] [2] Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. [3] Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya [Imam Mujiono, 2002: 18].
12. Teori Motivasi

Teori-Teori Motivasi



Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
 
Motivasi merupakan salah satu faktor pendorong yang ada di dalam diri manusia untuk tergerak melakukan hal apapun baik yang sudah pernah dilakukan maupun yang belum pernah dilakukannya. Motivasi menjadi alasan untuk bertindak dan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang. Beberapa motif yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang adalah motif kekuasaan, motif berprestasi, motif bergabung, keamanan, dan motif status. Motif-motif tersebut tergabung dalam beberapa teori motivasi sebagai berikut:
1. Teori Motivasi Klasik
Teori ini dikemukakan oleh Frederik Winslow Taylor. Teori ini menyatakan bahwa motivasi para pekerja hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan biologis saja.
2. Herzberg’s Two Factors Teory
Teori Motivasi Dua Faktor atau Teori Motivasi Kesehatan atau Faktor Higienis dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg. Menurut teori ini motivasi yang ideal yang dapat merangsang usaha adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih membutuhkan keahlian dan peluang untuk mengembangkan kemampuan. Herzberg menyimpulkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan rasa senang dan tidak senangnya pekerja di dalam pekerjaannya.
Faktor pertama adalah kepuasan kerja yang cenderung lebih kepada faktor intrinsik (maintenance factor atau faktor lahiriah). Faktor ini menjelaskan bahwa ketika orang merasa senang ia akan mengkaitkan dengan kemampuan yang ada di dalam diri sendiri.
Faktor kedua adalah ketidakpuasan kerja. Ketika orang sedang merasa tidak senang maka ia akan cenderung menyalahkan faktor-faktor dari luar seperti lingkungan kerja. Oleh karena itu, menurut Herzberg dalam memperhatikan motivasi bawahan harus diketahui hal-hal yang mendorong karyawan melakukan pekerjaan yang menantang sehingga muncul perasaan untuk berprestasi, bertanggung jawab, dan menikmati pekerjaannya. Selain itu hal-hal yang dapat mengecewakan dan menyebabkan ketidakpuasan karyawan perlu dihilangkan.
3. ERG Theory Alderfer Existence, relatednes, and Growth (ERG) Theory dikemukakan oleh Clayton Alderfer seorang ahli dari Yale University. Teori ini juga merupakan penyempurnaan dari teori kebutuhan yang dikemukakan oleh A.H. Maslow. Alderfer mengemukakan bahwa ada 3 kelompok kebutuhan yang utama, yaitu :
• Kebutuhan akan Keberadaan (Existence Needs), berhubungan dengan kebutuhan dasar termasuk didalamnya Physiological Needs dan Safety Needs dari Maslow.
• Kebutuhan akan Afiliasi (Relatedness Needs), menekankan akan pentingnya hubungan antar-individu (interpersonal relationship) dan bermasyarakat (social relationship).
• Kebutuhan akan Kemajuan (Growth Needs), dalah keinginan intrinsik dalam diri seseorang untuk maju atau meningkatkan kemampuan pribadinya.
4. Teori Motivasi Human Relations
Teori ini lebih mengutamakan pada hubungan seseorang dengan lingkungannya. Menurut teori ini seseorang akan berprestasi baik, jika ia diterima dan diakui dalam pekerjaannya dan lingkungannya. Teori ini juga menekankan peranan aktif pimpinan organisai dalm memelihara hubungan dan kontak-kontak pribadi denga bawahannya yang dapat membangkitkan gairah kerja.
5. Teori Motivasi Claude S. George
Teori ini menyatakan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan yang berhubungan dengan tempat dan suasana di lingkungan bekerjanya, yaitu upah yang layak, kesempatan untuk maju, pengakuan sebagai individu, keamanan bekerja, tempat kerja yang baik, penerimaan oleh kelompok, perlakuan yang wajar, dan pengakuan atas prestasi.

Sumber : http://novriyanti07.alumni.ipb.ac.id/2011/07/12/berbagai-teori-motivasi/
Sumber : http://psb-psma.org/content/blog/teori-teori-motivasi